Sejak kapan Universitas Gadjah Mada berjulukan 'Kampus Biru'?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 8 Maret 2021 | 09:00 WIB
Sebuah penanda sejarah tertanggal 25 Desember 1965, yang merupakan tanda terima kasih RPKAD kepada UGM yang telah membantu menumpas Operasi Gestapu/PKI di Djawa Tengah. Belakangan, piagam ini mengingatkan publik ketika mengenang 50 tahun peristiwa pembantaian besar-besaran di Indonesia. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Traveler)

 

Nationalgeographic.co.id—“Barry kedua dari kiri,” ujar Sektiadi. Lelaki berkumis putih itu menunjuk foto lima bocah yang berdiri di tengah jalan permukiman berlatar Gunung Merapi. Barry, panggilan akrab Barack Hussein Obama, dalam foto itu mengenakan kemeja warna putih dan celana krem. Lagaknya khas anak-anak—cengengesan. Lalu, Sektiadi menambahkan, “Mereka di depan rumah ini.”

Sektiadi merupakan seorang dosen pada Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, yang sekaligus pengelola Museum UGM. Kami tengah berada dalam kamar sebuah rumah lawas di kompleks perumahan dosen Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur D7. Beberapa foto yang menghias dinding kamar, menautkan kenangan tentang Barry kecil dan keluarga pemilik rumah ini.

Bagaimana ceritanya bocah berkulit hitam yang kelak menjadi Presiden AS ke-44 itu sampai di Yogyakarta? Sektiadi mengatakan, rumah dinas ini pernah dihuni Profesor Iman Soetiknjo dan keluarganya. Dia adalah guru besar dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM.  Ibunda Barry yang bernama Ann Dunham, demikian lanjut Sektiadi, menikah dengan adik dari sang profesor yang bernama dr. Soetoro. “Tapi,” sambungnya, “Ann Dunham sudah mempunyai anak, yakni Barry, dari pernikahan sebelumnya.”

Baca Juga: Hujan Es di Yogyakarta, Penyebabnya, dan Bedanya dengan Hujan Salju

Foto-foto kenangan Barack Obama kecil ketika berlibur di rumah paman tirinya, Profesor Soetiknjo di (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Traveler)

Kamar tempat bermalam Barry kala liburan itu kini diabadikan sebagai bagian dari Museum UGM. Di kamar itu masih ada ranjang tempat Barry lelap dalam tidur, juga meja kerja paman tirinya. Tampaknya, Barry tidur di sebuah kamar tidur sekaligus kamar kerja yang penuh dengan koleksi buku milik Soetiknjo.

Suasana Museum UGM, yang menampilkan koleksi kenangan para pendiri dan perintis kampus itu. Museum menempati rumah dinas dosen di Bulaksumur D-6 dan D-7. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Traveler)
 

“Kami sebenarnya berpikiran tidak akan banyak menggunakan guide,” ujarnya. Menurut hemat Sektiadi, pemandu hanya akan membatasi pengunjung, sehingga pengunjung tidak bisa mengembangkan pengetahuannya. Kelak, ungkap Sektiadi, museum ini akan dilengkapi paparan informasi yang bisa disentuh, dilihat, dan dibaca. “Seharusnya pengunjung bisa membangun sendiri pengetahuannya dengan berinteraksi dengan objek.”

Sejatinya, ide tentang pendirian museum ini sudah ada sejak awal dekade silam. Salah satu penganjur pendirian museum ini adalah Prof. Dr. Teuku Jacob, guru besar emeritus dalam bidang antropologi ragawi dari Fakultas Kedokteran UGM. Salah satu sudut museum ini juga menampilkan barang-barang pribadi milik Jacob: holograf, pena, dan replika kepala manusia katai asal Flores, juga foto legendarisnya bersama G.H.R. von Koenigswald—ahli geologi dan paleoantropologi sohor asal Jerman. Teuku Jacob pernah menjabat sebagai Rektor UGM yang ketujuh peridoe 1981-1986. Kritiknya terhadap pendapat para ahli seputar temuan Homo floresiensis dikutip dalam National Geographic Indonesia edisi pertama, April 2015.

Baca Juga: Batik Vorstenlanden: Kisah Batik Dari Empat Istana Penerus Mataram

Ruang yang mengabadikan sosok perintis Universitas Gadjah Mada, Profesor. Dr. Sardjito, MD, MPH (1879-1970). Kini namanya diabadikan sebagai rumah sakit umum daerah di tepian Kampus UGM. Sardjiito turut terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, tatkala menyelundupkan peralatan kedokteran dari wilayah Belanda ke Yogyakarta dan Klaten demi masa depan pendidikan bangsa. Nyawa menjadi taruhannya. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Traveler)

Baca Juga:

Pengunjung Museum UGM mengabadikan lintasan sejarah berdirinya kampus itu. Awalnya, perkuliahan diselenggarakan di Keraton Yogyakarta. Kemudian perkuliahan bertempat di sebuah gedung di Bulaksumur yang diresmikan Presiden Soekarno pada 19 Desember 1959. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Traveler)
 

Di ruangan yang dahulu digunakan sebagai ruang tamu, saya menyaksikan lintasan waktu dari 1943 yang ditandai Sekolah Bagian Ilmu Kedokteran Gigi di Surabaya yang dibentuk Jepang hingga peresmian UGM pada 19 Desember 1959 oleh Presiden Sukarno. Pada lintasan waktu berikutnya, sebuah foto hitam-putih menampilkan seorang yang bersepeda memasuki salah satu gerbang keraton bergaya paladian yang bertuliskan “Universitit Negeri Gadjah Mada”.  Saya mengenang almarhum ayah saya yang pernah berkata bahwa dia masih mengalami perkuliahan di dalam tembok keraton. Bahkan, kawasan kampus UGM yang sekarang berdiri di tanah milik Keraton Yogyakarta. Dalam ruangan istimewa lainnya, tampak hubungan mesra antara UGM dan Keraton Yogyakarta. Potret  Sultan Kesembilan ditampilkan untuk mengenang peran dan kemurahan hatinya saat berdirinya kampus ini.

“Museum UGM ini bukan satu-satunya,” ujar Sektiadi. “Museum Biologi merupakan museum tertua yang dimiliki UGM.” Selain itu kampus ini memiliki sederet museum lainnya seperti Museum Kayu Wanagama yang dikelola Fakultas Kehutanan, Museum Paleontropologi yang dikelola Fakultas Kedokteran, Museum Peta dan Museum Gumuk Pasir yang dikelola Fakultas Geografi, serta Museum Mandala Majapahit yang dikelola Fakultas Ilmu Budaya.

Baca Juga: Rekam Jejak Pertunjukan Musik Klasik di Hindia Belanda pada Abad Ke-19

Museum UGM, menempati dua rumah dinas dosen di Bulaksumur D6 dan D7. Museum yang masih terus berbenah ini buka setiap Senin hingga Jumat. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Traveler)

Poster film Cintaku di Kampus Biru, yang dibintangi Roy Marten dan Rae Sita, 1977. (Wikimedia Commons)
 
 
[Artikel ini terbit pertama kali pada 26 Maret 2016]