Apakah Perjalanan Luar Angkasa Memberikan Perubahan Pada Tubuh Kita?

By Gita Laras Widyaningrum, Rabu, 9 September 2020 | 12:14 WIB
Ilustrasi astronaut. (grandeduc/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Tinggal di luar angkasa dalam periode waktu tertentu memberikan gangguan pada tubuh. Pengalaman mikrogravitasi mengarahkan ke perubahan anatomi ketika beradaptasi dengan gaya tanpa beban. Kehilangan kalsium, perubahan ukuran dan bentuk jantung, cacat mata, serta degenerasi saraf menjadi hal-hal yang dikhawatirkan dari perjalanan ke luar angkasa

Dilansir dari IFL Science, sekelompok tim peneliti internasional mempelajari 11 otak kosmonaut dari Roscosmos, badan luar angkasa Rusia, yang menghabiskan sekitar enam bulan di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). 

Mereka tidak menemukan bukti yang menyatakan bahwa mikrogravitasi dapat menyebabkan kerusakan permanen pada sistem saraf. Penemukan tersebut juga memberikan informasi penting tentang bagaimana orak mengatur dirinya sendiri dalam kondisi mikrogravitasi. 

Baca Juga: Tiongkok Luncurkan Pesawat Ruang Angkasa yang Dapat Digunakan Kembali

Otak para kosmonaut dipindai menggunakan teknik pencitraan saraf seperti MRI difusi sebelum terbang ke luar angkasa dan kemudian sembilan hari setelah kembali ke Bumi. Delapan dari mereka dipindai hingga tiga kali selama tujuh bulan, setelah kembali dari misi luar angkasa. 

Perubahan menarik pada otak yang dilaporkan oleh tim peneliti meliputi peningkatan kuantitas jaringan materi abu-abu di bagian atas otak. Juga berkurangnya materi abu-abu di wilayah yang memisahkan lobus frontal dan parietal dari lobus temporal.

Namun, perubahan ini disebabkan oleh pergeseran cairan serebrospinal--tanpa gravitasi, cairan tubuh cenderung terkumpul di kepala--bukan karena perubahan jumlah materi abu-abu.

Pergeseran dalam cairan serebrospinal yang diamati, mendukung bukti sebelumnya bahwa otak bergerak lebih dekat ke bagian atas tengkorak dalam mikrogravitasi.

Ketika delapan kosmonaut diperiksa ulang setelah tujuh bulan, perubahan yang dialami masih bisa dikembalikan seperti semula, meskipun tim memperhatikan bahwa pemulihan lebih terasa di bagian atas otak daripada di bawah.

Baca Juga: Bulan Purnama Hingga Okultasi Mars, Fenomena Langit di Bulan September

Tim juga melaporkan perubahan pada penglihatan kosmonot, yang menunjukkan penurunan ketajaman setelah berada di luar angkasa. Gejala ini disebabkan oleh kondisi yang disebut sindrom neuro-okuler terkait penerbangan luar angkasa.

Data menunjukkan, kondisi tersebut berkaitan dengan ekspansi yang lebih besar di ventrikel otak. Namun, hasil ini bertentangan dengan studi sebelumnya sehingga para peneliti menyarankan penelitian lebih lanjut untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. 

Studi yang dipublikasikan pada Science Advances tersebut sangat penting karena kita belum mendapatkan informasi tentang pengaruh hidup di luar angkasa terhadap tubuh manusia. Bersama dengan studi NASA pada astronaut kembar Scott dan Mark Kelly, temuan terbaru ini memberikan wawasan penting tentang apa yang mungkin harus dipertimbangkan oleh eksplorasi luar angkasa di masa depan.