Ketika Pembangunan dan Pelestarian Berimpit di Taman Nirwana Sang Naga

By Fikri Muhammad, Rabu, 16 September 2020 | 13:41 WIB
Komodo yang sedang tertidur di jalur short track Pulau Komodo. (Fikri Muhammad)

"Saya pikir kita mesti keluar untuk bisa benchmark gitu ya, bagaimana pengelolaan taman nasional kelas dunia di dunia yang dilakukan. Memangnya kita melakukan itu tidak melakukan riset? Pasti sudah di desain oleh orang orang yang memahami itu. Kemudian juga ini menyambung tentang bagaimana seolah-olah merasa paling tahu komodo itu seperti apa hidupnya. Sementara, itu juga yang saya bilang premium tadi, premium itu harusnya kita punya database yang jelas tentang perilaku komodo, perilaku flora dan fauna lainya seperti apa dan bagaimana," tegasnya.

Pengeboran sumber mata air di Rinca, Shana yakin bahwa itu sudah melalui survei hidrogeologi. Alasan mengapa sumber air perlu di bor adalah untuk mencukupi kebutuhan air bagi para wisatawan dan jagawana. 

Seekor komodo betina mengecap udara di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. (Stefano Unterthiner)

Saya mendatangi kediaman Aloysius Suhartim Karya atau akrab disapa Louis, di Labuan Bajo. Kebetulan dia berprofesi sebagai pemandu wisata dan mantan jagawana. Selain itu kini dia menjabat sebagai Ketua Formapp (Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata Manggarat Barat).

Dia berkisah bahwa rencana pembangunan infrastruktur ekowisata ini sejatinya sudah bermula sejak 2018. Rencana itu berupa pembangunan rest area di Loh Baya, Pulau Rinca.

Namun, dia menambahkan bahwa lokasi yang ditawarkan sebagai tempat pembangunan itu merupakan kawasan berkumpulnya komodo. "Kalau seandainya pembangunan di sana maka itu merusak natural instinct mereka. Karena cium bau makanan toh. Jadi pembangunan pariwisata alam di sana dengan harus kajian yang sangat teliti, tidak semudah itu. Komodo karakternya itu ia solitaire animal, ia tidak suka keramaian. Karena kalau ribut, lari dia," tutur Louis.

Dia memberikan penjelasan bahwa daerah Pulau Rinca dan Pulau Padar adalah daerah paling kering di Taman Nasional Komodo. Hanya ada empat sumber mata air di Loh Buaya Pulau Rinca. Sementara menurut Louis, jika dilakukan pengeboran maka akan mengganggu sirkulasi air bawah tanah. Secara otomatis akan mengganggu kehidupan komodo. 

Baca Juga: Kapal Berusia 400 Tahun Ditemukan di Laut Baltik dalam Keadaan Hampir Utuh

Dengan liur bercucuran, seekor komodo melangkah lebar saat air surut di Pulau Rinca. Ludah komodo be (Editor)

"Sekarang saja kalau musim kering tidak ada air. Ia makan kerbau dan minum darahnya. Ia mengonsumsi 75 persen dari darah kerbau kalau tidak ada air. Nah, kerbau ini minum dari mana? Minum air kubangan dan kubangan tidak banyak sekarang. Mereka akan beranak saat musim hujan. Kalau seandainya kerbau kehilangan air ini akan beradampak terhadap komodo. Karena ia bergantung pada satwa itu," kata Louis.

Penjelasan Louis berikutnya tentang konteks zona pemanfaatan tidak bisa sembarangan dilakukan pembangunan karena komodo dan satwa lain berada di sana. Salah satu tempat pembangunan sarana ekowisata itu berada di dekat pos jagawana (ranger station) dan area mangrove di Pulau Rinca.

Di tempat mangrove yang sekarang digusur dan masih berdekatan dengan pos jagawana, Louis pernah mengantar sekelompok ahli herpetologi asal Taiwan. Dia menunjukkan kepada mereka tiga jenis ular endemik Taman Nasional Komodo: green pit viper, russell viper, dan spitting cobra.