Di Balik Peristiwa Kelaparan Paling Parah di Korea Utara

By , Senin, 30 April 2018 | 15:00 WIB
()

Pyongyang, ibu kota Korea Utara, merupakan simbol kekuatan Republik Rakyat Demokratik Korea. Di sana terdapat bangunan-bangunan berpilar, bulevar luas, dan simbol lain yang menandakan kediktatoran.

Namun, pada pertengahan 1990-an, Pyongyang dipenuhi dengan orang-orang kelaparan. Menurut beberapa laporan, para warga berkeliaran di jalan tanpa semangat. Mencoba meninggalkan efek kelaparan yang menghantui.

Mereka adalah korban dari salah satu bencana paling parah di Korea Utara: kelaparan besar yang menyerang 25 juta orang di negara tersebut. Kelaparan itu terjadi akibat perencanaan yang buruk, isolasi, dan kebijakan swasembada yang salah arah.

(Baca juga: Potret Para Pengantin Anak yang Terlupakan di India)

Namun, meskipun kelaparan tersebut telah membunuh jutaan orang, tapi peristiwanya tidak diketahui negara–negara Barat pada saat itu. Pemerintah Korea Utara tidak pernah mempublikasikannya.

Bergantung pada Uni Soviet

Awal mula kelaparan terjadi pada 1948, ketika Republik Rakyat Demokratik Korea terbentuk. Lahan pertanian dan kondisi iklim Korea Utara tidak cocok untuk memproduksi makanan, namun negara baru itu mampu mengatasi masalah tersebut. Mereka menyelaraskan diri dengan Uni Soviet yang menyediakan bantuan makanan dan bahan bakar murah.

Pemerintah mengatur distribusi semua makanan secara ketat kepada penduduk kota dan anggota militer (sementara petani hanya diberikan hasil panen mereka). Pembagian tersebut tidak disesuaikan dengan kebutuhan, tapi kekuatan politik.

Para elite dan pendukung pemerintah diberikan makanan lebih banyak dibanding orang-orang lanjut usia, anak-anak, dan lainnya.

Namun, dalam beberapa tahun ke depan, Uni Soviet mulai runtuh. Bantuan dan makanan yang selama ini diberikan ke Korea Utara pun tidak ada lagi.

Saat Republik Rakyat Demokratik Korea semakin terisolasi, pemimpin mereka, Kim Il Sung, mengubah kebijakan negara menjadi ‘juche’ atau kemandirian. Slogan ini secara hipotetis menyatakan bahwa mereka bisa melakukan apa pun tanpa bantuan negara lain. (Meskipun begitu, para analis berpendapat, doktrin juche ini sebenarnya merupakan dalih sang diktator untuk mengukuhkan kekuatannya).  

Lahan pertanian di Kaesong, Korea Utara, 2007. Setelah diserang kelaparan pada pertengahan 1990-an, negara tersebut dihantui masalah kekurangan pangan. (AFP/Getty Images)

Di bawah filosofi juche, warga Korea Utara diharapkan untuk bisa mencari makan sendiri. Pemerintah memberikan bantuan dengan mendistribusikan pupuk kimia agar lahan petani semakin subur. Namun, saat Uni Soviet bubar, akses ke bahan bakar murah juga hilang.

Produksi pupuk di Republik Rakyat Demokratik Korea terhenti, warga kekurangan bahan bakar dan hasil panen menurun drastis. “Pemerintah memulai kampanye yang memaksa penduduk untuk mengonsumsi makanan lebih sedikit,” tulis Jordan Weissmann di The Atlantic.

“Itu ditampilkan dengan slogan yang ceria: ‘Mari makan hanya dua kali dalam sehari.’” tambahnya.  

‘Mencuri’ bantuan makanan

Pada 1995 dan 1996, pola cuaca El Nino yang hangat mendatangkan banjir ke Korea Utara. Ini adalah bencana besar bagi para petani di Korea Utara yang ingin mandiri – 15% lahan subur di negara tersebut hancur.

Lalu, pemerintah diktator pun mengurangi jumlah bibit yang diberikan kepada petani dalam upaya menghemat sumber makanan. Namun, alih-alih mengurangi makanan, para petani tersebut justru menyimpan bibit untuk diri mereka sendiri. Alhasil, sumber makanan semakin berkurang.

Kondisi kekurangan makanan itu membuat pemimpin Korea Utara panik. Mereka pun melakukan aksi yang langka: yakni, meminta bantuan makanan kepada organisasi internasional.

Awalnya, beberapa negara dan organisasi ragu. Mereka terkejut karena negara terisolasi ini tiba-tiba meminta makanan. Namun, pada akhirnya, permohonan itu dikabulkan.

Sayangnya, bantuan itu disalahgunakan oleh pemerintah. Bahan makanan itu diberikan kepada elite negara dan bukannya penduduk Korea Utara yang kelaparan.

“Para petani mencuri bibit dari lahan mereka sendiri. Para elite mencuri bantuan makanan. Warga Korea Utara yang miskin semakin kelaparan,” tulis Weissman.

Saat makanan semakin berkurang, pemerintah berhenti menyediakan bantuan sama sekali. Mereka memprioritaskan untuk memberi makan anggota militer dibanding warga sipil. Penduduk Korea Utara pun mulai makan rumput. Ada juga yang menyeberangi negara tetangga seperti Tiongkok karena putus asa mencari makan di tanah air mereka.

Gizi buruk

Sementara itu, gizi buruk menyerang segala usia. Seorang relawan yang mengunjungi Korea Utara pada 1997, mengatakan kepada The New York Times bahwa orang-orang di sana terpaksa makan bubur encer.

Perubahan warna rambut, tubuh yang tak berdaya, dan mata bengkak merupakan hal biasa yang terjadi pada anak-anak Korea Utara – itu adalah tanda-tanda fisik kelaparan. Diperkirakan, semua generasi anak-anak pada masa tersebut menderita gangguan fisik dan mental akibat kekurangan makanan.

Bantuan pangan internasional lah yang membantu mengurangi kelaparan di Korea Utara. Hingga saat ini, negara tersebut pun masih bergantung kepada organisasi internasional, seperti PBB. Bencana alam dan pola iklim membuatnya rentan terhadap fluktuasi dan ketersediaan pangan.

Di Korea Utara, peristiwa kelaparan paling parah ini memiliki nama -- istilah yang jika diterjemahkan berarti “Bulan Maret yang Sulit”. Perumpamaan itu memungkiri penderitaan warga yang kelaparan dan mati karenanya. Mencerminkan penolakan peran pemerintah atas fenomena tersebut.

Pemimpin diktator Korea Utara terus menyalahkan bencana alam dan faktor eksternal lainnya sebagai penyebab kelaparan.

(Baca juga: Suku Bajau, ‘Penjelajah Air’ yang Ditakdirkan Menjadi Penyelam Terkuat)

Melihat kondisinya yang begitu dirahasiakan, sulit untuk memperkirakan jumlah korban kelaparan. Para ahli menduga, jumlah bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan orang atau 5% dari total penduduk.

Ancaman kelaparan selanjutnya

Para peneliti memprediksi, kelaparan di Korea Utara akan terjadi dalam waktu dekat.

Menurut Jason Le Miere dari Newsweek, kekeringan dan kebijakan yang salah bisa membawa negara tersebut kepada krisis pangan lainnya.

Berdasarkan data PBB, dua dari lima penduduk Korea Utara mengalami kekurangan makanan serta akses ke perawatan kesehatan dasar dan sanitasi. Lebih dari 70% populasi bergantung pada bantuan makanan internasional untuk bertahan hidup. Dan sebanyak 41% populasi Republik Rakyat Demokratik Korea mengalami kekurangan gizi.