Cerita dan foto oleh Mikael Jefrison Leo
Nationalgeographic.co.id—“Anak, kau jangan berdiri injak di situ. Turun!” Opa Alo berteriak nyaring dari dalam Sa’O kediamannya.
Matanya yang bersahaja, seketika berubah awas.
Dia memperhatikan dengan saksama, setiap gerak langkah kaki saya siang itu. Dengan polosnya saya berdiri dan berjalan kaki di salah satu tepian punden berundak yang ternyata adalah bagian dari sebuah makam keramat.
Sial, pikir saya. Baru kali pertama berkunjung, sudah mulai membuat masalah.
Memori kunjungan pertama itu entah kenapa selalu melintas di kepala saya. Pengalaman tetap merupakan guru yang paling baik.
Kunjungan kali ketiga, saya bersama tiga orang kawan disambut dengan secangkir kopi panas. Oma Maria sibuk membuat pisang rebus sebagai teman minum kopi, sambil mengawasi api di tungku perapian agar tetap menyala.
Kami disambut Opa Alo dalam kehangatan di dapur rumahnya yang sederhana. Kami telah melawan dinginnya perjalanan menembus kabut. Dari daerah Moni, memasuki kawasan Pasar Nduaria, dan saat melewati jalan utama yang melingkari kaki gunung Kelimutu.
“Kopi luwak nya apakah masih ada, Oma?” tanya saya penasaran kepada oma Maria.
Ketika saya berkunjung ke Wologai beberapa tahun silam, Oma Maria sempat menunjukkan pada saya tas anyaman bambu yang berisikan biji kopi luwak bergumpal-gumpal. “Kopinya yang itu su (baca: sudah) habis, nong,” balas Oma Maria sambil mulutnya terus rajin mengunyah sirih-pinang di sela-sela giginya.
Baca Juga: Kabar Terakhir Manusia Katai Dari Flores: Kisah Homo Floresiensis