Simbol Perempuan di Kampung Tua Wologai

By National Geographic Indonesia, Jumat, 4 Desember 2020 | 07:45 WIB
Aloysius Leta Dala (66 tahun) berpose dengan Ine Ria Fai Nggae, hasil seni pahat buatannya sendiri yang terbuat dari kayu nangka. Aloysius merupakan salah satu tetua adat atau mosalaki yang menghuni Kampung Adat Wologai. (Mikael Jefrison Leo)

Cerita dan foto oleh Mikael Jefrison Leo

Nationalgeographic.co.id—“Anak, kau jangan berdiri injak di situ. Turun!” Opa Alo berteriak nyaring dari dalam Sa’O kediamannya.

Matanya yang bersahaja, seketika berubah awas.

Dia memperhatikan dengan saksama, setiap gerak langkah kaki saya siang itu. Dengan polosnya saya berdiri dan berjalan kaki di salah satu tepian punden berundak yang ternyata adalah bagian dari sebuah makam keramat.

Sial, pikir saya. Baru kali pertama berkunjung, sudah mulai membuat masalah.

Memori kunjungan pertama itu entah kenapa selalu melintas di kepala saya. Pengalaman tetap merupakan guru yang paling baik.

Kunjungan kali ketiga, saya bersama tiga orang kawan disambut dengan secangkir kopi panas. Oma Maria sibuk membuat pisang rebus sebagai teman minum kopi, sambil mengawasi api di tungku perapian agar tetap menyala.

Kami disambut Opa Alo dalam kehangatan di dapur rumahnya yang sederhana. Kami telah melawan dinginnya perjalanan menembus kabut. Dari daerah Moni, memasuki kawasan Pasar Nduaria, dan saat melewati jalan utama yang melingkari kaki gunung Kelimutu.

“Kopi luwak nya apakah masih ada, Oma?” tanya saya penasaran kepada oma Maria.

Ketika saya berkunjung ke Wologai beberapa tahun silam, Oma Maria sempat menunjukkan pada saya tas anyaman bambu yang berisikan biji kopi luwak bergumpal-gumpal. “Kopinya yang itu su (baca: sudah) habis, nong,” balas Oma Maria sambil mulutnya terus rajin mengunyah sirih-pinang di sela-sela giginya.

Baca Juga: Kabar Terakhir Manusia Katai Dari Flores: Kisah Homo Floresiensis

Para Mosalaki sedang memotong Kayu Ampupu (Eucalyptus urophylla) dalam rangka persiapan menyambut ritual Gelu Mewu. Ritual Gelu Mewu merupakan upacara perbaikan rumah adat di Wologai yang terjadi setiap 3 tahun sekali. (Mikael Jefrison Leo)

Jalur Maumere-Ende merupakan bagian dari jalan raya Trans Flores yang memanjang dari ujung Timur di kota Reinha Larantuka hingga Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat. Jarak total dari Trans Flores adalah sepanjang 664 kilometer.

Jalur Maumere-Ende mengular sepanjang 150 kilometer. Sesuai dengan apa yang saya sebut tadi: jalur ini sohor dengan banyaknya belokan seperti ular yang meliuk-liuk di antara lembah, bukit dan jurang. Tak ayal dengan kondisi medan seperti ini, banyak pengguna jalan yang mau tidak mau hari beristirahat sejenak. Ketimbang pusing, mual dan akhirnya... muntah!

Kawasan Moni-Nduaria-Detusoko adalah favoritku. Di daerah Moni, kita akan menemukan hamparan sawah padi yang membentang di kiri-kanan jalan. Tidak seluas hamparan sawah di Lembor, Manggarai. Namun demikian, cukup membuat decak kagum.

Sementara saat memasuki Nduaria dan Detusoko, hamparan tanah berhumus hitam nan subur mudah ditemui. Lanskap bernutrisi tinggi ini lantas dimanfaatkan penduduk sekitar untuk dijadikan media pertumbuhan sayu-mayur dan buah-buahan segar. Pasar Nduaria adalah tempat para warga sekitar menjual hasil berkebunnya itu.

Kampung Tradisional Wologai sudah berdiri sejak ratusan tahun silam. “Sekitar 13 generasi sebelum saya sudah menetap di kampung ini,”ujar Opa Alo kepada saya.

Selain mengagumi salah satu jejak peradaban etnis Lio, sayapun menaruh hormat pada sosok kakek berusia 62 tahun ini. Aloysius Leta Dala, nama lengkapnya. Dia adalah seniman pahat yang amat piawai. Dia mendedikasikan hidupnya untuk menyelami dunia seni pahat. Seni baginya adalah media aktualisasi diri.

Baca Juga: Labuan Bajo Tak Hanya Komodo, Ada Aroma Juria Mengguncang Dunia

Sao Ria atau rumah khas etnis Lio menjadi struktur bangunan yang dominan kita jumpai selama mengunjungi Kampung Tradisional Wologai, Desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende. (Mikael Jefrison Leo)

Jejak asal-usul nenek moyang orang Wologai terekam jelas pada salah satu dari banyak mahakarya Opa Alo. Sambil menyesap kopi, Opa Alo bergeser ke salah satu bilik di dekat dapur.

Dengan hati-hati, dia mengeluarkan pahatannya dari balik kain penutup, mengusapnya dengan penuh kelembutan. Pahatannya berwarna hitam. Dia memberi nama karyanya, Papu. Pahatan Papu menggambarkan seorang pria paruh baya, berjalan dengan bertumpu pada sebatang tongkat di tangan kanannya. Sementara tangan kirinya menjinjing pundi nata mbako (tas jinjing tradisional pria yang biasanya berisikan tembakau, sirih-pinang dan emas).

“Karakter Papu itu menggambarkan seorang bangsawan yang bijaksana, juga menggambarkan bahwa nenek moyang kami berasal dari Gunung Lepembusu,” tambah Opa Alo dengan tegas. Keli Lepembusu, satu lanskap gunung setinggi 1754 mdpl yang menjadi latar belakang dari Kampung Adat Wologai, dipercaya oleh banyak masyarakat etnis Lio sebagai asal-usul mereka.

Selain Papu, ada satu lagi pahatan yang bagi Opa Alo merupakan sebuah mahakarya. Sambil menggendongnya dengan lembut, Opa Alo membawanya keluar dari Sao Ria kediamannya agar bisa dilihat lebih jelas di bawah sinar mentari pagi.

“Namanya adalah Ine Ria Fai NggaE,” terangnya. Pahatannya yang satu ini merepresentasikan seorang Ibu yang welas asih. Ibu yang memberi dan memelihara yang terbaik untuk anak-anaknya dan juga semesta.

Penghargaan tertinggi bagi seorang Ibu ternyata tidak hanya terlihat dari hasil karya pahat Opa Alo saja. Apabila melihat struktur bangunan di Sao Ria yang ada di Kampung Tradisional Wologai, dapat kita temui juga ukiran berbentuk payudara wanita. Ini melambangkan mama atau ibu. Rumah merepresentasikan seorang Ibu.

Ternyata kunjungan kami ke Wologai kali itu bertepatan dengan persiapan para warga sekitar kampung dalam menyambut upacara perbaikan rumah induk atau Sao Bhisi Koja. Upacara ini  bernama ritus Gelu Mewu. Warga dan tetua adat kampung bergotong royong memperbaiki rumah induk setiap 3 tahun sekali. Serangkaian ritual adat meminta izin dan keselamatan dari leluhur digelar terlebih dulu oleh para tetua kampung—atau Mosalaki.

“Baiklah kamu menginap barang semalam di sini, supaya besok kami bisa sama-sama menyaksikan ritual ini,” ajak Opa Alo.

UNTOLD FLORES EXPEDITION merupakan perjalanan untuk menyingkap sejarah, budaya, alam, dan cerita manusia di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya, membangkitkan gairah perjalanan wisata berbasiskan narasi tentang sebuah tempat, sekaligus membangun kesadaran warga dan pejalan tentang pentingnya menghargai nilai-nilai kampung halaman. Perjalanan ini merupakan bagian penugasan National Geographic Indonesia, yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.