Cerita Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia

By Fikri Muhammad, Sabtu, 12 Desember 2020 | 14:30 WIB
Perempuan-perempuan Tionghoa berkebaya encim dengan dandanan tempo dulu. Mereka tampil dalam salah satu rangkaian acara pameran dan diskusi buku Peranakan Tionghoa Indonesia di Kota Lama Semarang. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

 

Nationalgeographic.co.id—Desember adalah bulan perempuan. 22 Desember adalah hari ibu setelah sebelumnya diresmikan pada Kongres Perempuan yang diadakan di Yogyakarta pada 22 Desember 1928. 

Martabat seorang perempuan sejajar dengan laki-laki dan patut dihormati. Tapi hingga kini masih ada perempuan yang hidup dalam dunia patriarki. Sehingga eksistensinya menjadi minoritas. Lebih lagi bahwa perempuan itu adalah keturunan Tionghoa. Maka ia berminoritas ganda.

Kita perlu kembali pada sejarah perempuan itu sendiri terutama pada karya-karya sastra. Melihat bagaimana ia terdiksriminasi dan tersiksa. Bukan maksud untuk menakut-nakuti. Tapi dari pelajaran sejarah kita bisa mempelajari kesalahan masa lalu supaya tidak terulang di masa depan.

Naning Pranoto, seorang Novelis dan Penggerak Literasi menceritakan banyak kisah perempuan Tionghoa yang bisa diambil saripatinya. Hal ini tertuang dalam buku-bukunya yang berjudul Mei Merah 1998, Miss Lu, Musim Semi di Shizi, dan Naga Hongkong.

Semua novelnya berpijak dari kisah nyata. Supaya ada pelajaran yang dapat diambil pada tiap ceritanya. "Semua novel saya berpijak dari kisah nyata. Saya senang menulis bersifat naratif. Saya ingin membagikan cerita yang ada rasa air mata. Saya ingin menulis untuk pencerahan," kata Naning di acara Serial Webinar Nggosipin Tionghoa Yuk!.

Bukunya, Mei Merah 1988 mengisahkan tragedi kelam pemerkosaan pemerempuan Tionghoa pada masa akhir kepemimpinan Soeharto. Inspirasinya dia dapat dari seorang anak gadis Tionghoa korban pemerkosaan.

Naning saat itu sedang menerapkan terapi pada perempuan yang kadung linglung itu. Dengan menulis puisi atau dalam istilah terapinya "menangis di atas kertas".

"Dari situ saya tersentuh pengen nangis juga. Saya mengumpulkan kliping ingin menulis novel," tutur Naning.

Baca Juga: Herman Willem Daendels dalam Pemberantasan Korupsi di Hindia Belanda

Cerita lainya juga ia dapati dari seorang supir taksi online kala ia membawa banyak kliping soal data-data kejadian 1998. Supir perempuan berdarah Tionghoa itu bercerita bahwa ia dahulu adalah saksi kerusuhan Mei 1998.

Rumahnya tidak dirusak karena dianggap miskin. Tapi ia menyaksikan bagaimana orang-orang menjarah, merusak, dan memperkosa perempuan-perempuan Tionghoa. Ia bercerita bahwa di kompleknya ada pengumuman dari Lurah supaya orang Tionghoa berkumpul di lapangan agar dilindungi. Tapi ibunya tidak percaya, menyuruh keluarganya sipa memegang senjata. Sang supir itu bawa jarum untuk jaga-jaga.

"Terus akhirnya saya wawancara dia. Saya minta dia ke rumah saya. Dia cerita sambil nangis dari pagi jam 10 sampai jam 5 sore. Setelah itu saya menulis novel itu," ucap Naning.