Cerita Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia

By Fikri Muhammad, Sabtu, 12 Desember 2020 | 14:30 WIB
Perempuan-perempuan Tionghoa berkebaya encim dengan dandanan tempo dulu. Mereka tampil dalam salah satu rangkaian acara pameran dan diskusi buku Peranakan Tionghoa Indonesia di Kota Lama Semarang. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Novel lainya, masih bertema perempuan Tionghoa. Seperti novel Musim Semi di Shizi yang bercerita seorang perempuan berdarah Tionghoa kelahiran Amerika berumur 50 tahun yang jatuh cinta kepada seorang pemuda. Lalu Naga Hongkong yang bercerita soal kisah TKW di Hongkong yang mendapat perlakuan baik dengan segala toleransi dari orang-orang Hongkong.

Baca Juga: Tan Pek Hau 'Sang Kungfu Master' Legendaris Asal Kabupaten Tegal

Mei Merah 1998 ()

Naning adalah seorang novelis yang menggemari karya sastra Pearl S. Buck. Ia dekat dengan orangorang Tionghoa sejak kecil. Maka itu, ia terinspirasi untuk menulis karya sastra bertema Tionghoa.

"Saya dilahirkan di Yogyakarta, keluarga kami adalah pedagang yang dekat sekali hubunganya dengan orang Tionghoa. Bahkan bapak saya selalu mengajarkan untuk hidup seperti orang Tionghoa yang rajin, hemat, dan disiplin," ucap Naning, "Niru Cino." 

Lanjutnya, bahwa seorang perempuan adalah rahim. Bukan hanya seorang yang disetubuhui tapi penyubur kehidupan. Perempuan adalah payudara yang tidak hanya menyusui tapi kita bisa mengambil saripati kehidupan.

Baca Juga: Roemah Piatoe Ati Soetji, Filantropi Istri Mayor Cina di Betawi

Widya Fitria Ningsih, Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Vrije Universiteit Amsterdam & Staf Pengajar Departemen Sejarah UGM punya cerita lain soal diaspora perempuan Tionghoa di Belanda. Bahwa komunitas itu membawa warisan kultural yang kompleks. 

"Apa faktor pendorong perempuan Tionghoa melakukan migrasi ke Belanda saya rasa sudah banyak dibahas oleh forum sebelumnya baik Masa kolonial maupun pasca kolonial. Masa kemerdekaan bangsa kita mewarisi kolonial, Tionghoa menjadi Indonesia yang lain, karena diskriminasi. Beberapa diantara mereka harus mengubah nama. Misalnya nama belakang mereka," katanya di acara yang sama. 

Pada saat kemerdekaan sampai 1960, Widya menemukan dilema perempuang Tionghoa untuk memilih antara Indonesia, Tiongkok, atau Belanda. Kekhawatiranya bahwa di Indonesia ada bahaya kawin campur dan di Tiongkok ada larangan beragama, gumam Widya yang mengutip tulisan di majalah Liberty.

Belanda meruakan pilihan logis bagi mereka. karena memang eks kolonialisme dan ada kedekatan kulutral. Alhasil, ada sekitar 400.000 orang Tionghoa yang pada saat itu melakukan migrasi ke Belanda.

Sedikit cerita dari penelitian Widya ini sebetulnya ingin mengungkapkan bahwa narasi perempuan Tionghoa selama ini diabaikan. Dengan menulis tentang itu, Widya berharap untuk mendobrak bingkai nasional yang selalu terpaku pada elit laki-laki. Narasi perempua telah luput dalam sejarah Indonesia.