Menguak Alasan Migrasi Pelayaran Manusia ke Kepulauan Terpencil

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 12 Desember 2020 | 14:00 WIB
Perahu bambu yang diperkirakan dipakai migrasi antara Taiwan dan Kepulauan Ryukuyu. (Yosuke Kaifu)

Jika pelaut kuno berlayar dengan teknologi pada jamannya, maka besar kemungkinan untuk tidak dapat sampai ke Ryukyu, melainkan akan tersesat hingga ke Pasifik.

"Kami menginterpretasikan pergerakan setiap pergerakan yang terlacak dengan mengacu pada laju permukaan laut yang direkonstruksi oleh simulator arus berbasis komputer super yang disebut JCOPE2," tulisnya.

 Baca Juga: Ukiran Tulang Manusia Ungkap Praktik Ritual Kanibalisme Kuno

Teknologi tersebut digunakan untuk mengoservasi data ketinggian permukaan laut, suhu, dan salinitas, bersamaan dengan dat angin seperti tekanan patas, dan pasang surut. Fungsinya, untuk menggambarkan kondisi arus laut per hari dan per jam dalam memantau pelampung-pelampung.

"Sekarang, hasil kami menunjukkan hipotesis pergeseran untuk migrasi Paleolitik di wilayah ini hampir tidak mungkin (bila tujuannya kebetulan)," jelas Kaifu.

Kaifu bersama timnya menuliskan dalam penelitiannya yang berjudul Palaeolithic Voyage for Invisible Islands Beyond the Horizon di laman Scientific Report juga mengungkapkan, berkat arus laut itulah banyak nelayan era paleolitik dari Taiwan dan Luzon berhati-hati. Terlebih teknologi perahu yang mereka gunakan masih sangat primitif, walau dari kejauhan sebenarnya mudah sekali untuk melihat Taiwan karena datarannya yang relatif tinggi.

Hingga pada perkembangan pengetahuan mereka menemukan metode dalam memahami cuaca, dan teknologi agar tidak mengalami kecelakaan.

"Kami berspekulasi bahwa keadaan ini mendorong gagasan dan beberapa rencana praktis bagi orang-orang Paleolitik lokal untuk bermigrasi ke pulau-pulau terpencil ini sekitar 35.000 tahun yang lalu," terang mereka.

Pengetahuan masyarakat paleolitikum ini dibuktikan juga dengan observasi dengan para nelayan asli Amis, Taiwan, yang masih menggunakan perahu bambu. Mereka mengaku bahwa tidak pernah mendengar adanya kecelakaan maritim jika menggunakan perahu bambu tradisional.

Masyarakat kemudian mengembangkan teknologi dan metode yang membantu mereka dapat tiba di kepulauan Kyushu, dan sekitarnya.

Penemuan dari penelitian sebelumn-sebelumnya di sekitar Pasifik Barat (kawasan Wallacea dan Sahul), terdapat banyak benda dari kawasan Asia dan Jepang seperti alat pancing, dan perahu bambu. Penemuan ini menunjukan pula, bahwa aktivitas maritim yang cukup berkembang di kawasan tersebut akibat eksploitasi masyarkat di lingkungan baru.

"Saya yakin kami berhasil membuat argumen kuat bahwa populasi purba yang dimaksud bukanlah penumpang kebetulan, tetapi penjelajah," terang Kaifu.