Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 13 Desember 2020 | 19:30 WIB
Lukisan mahakarya Raden Saleh yang berkisah tentang suasana penangkapan Pangeran Dipanagara.
Lukisan mahakarya Raden Saleh yang berkisah tentang suasana penangkapan Pangeran Dipanagara. (Raden Saleh/Koleksi Lukisan Istana Presiden )

Baca Juga: Herman Willem Daendels dalam Pemberantasan Korupsi di Hindia Belanda

Jauh sebelum perang Jawa, Gubernur Jenderal Daendels hanya memberikan tindak pencegahan korupsi pada pejabat-pejabat kolonial, dan membiarkan praktik tersebut terjadi pada kaum pribumi.

Kebijakan Daendels yang bisa dianggap sebagai awal terbentuknya negara hukum (rechtsaat), juga menyebabkan bupati-bupati yang biasanya dijabat golongan pribadi kehilangan pemasukannya. Terutama pada sektor monopoli perdagangan kayu jati yang jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha Tionghoa.

Carey menilai praktik ini jadi pemantik sentimen anti-Tionghoa di masa mendekati Perang Jawa, selain skandal Pangeran Dipanegara dengan tukang pijat peranakan Tionghoa, dan penjaga gerbang kota yang umumnya diisi oleh keturunan Tionghoa.

Keruwetan permasalahan tindakan gelap makin parah terutama saat Gubernur Jenderal van der Capellent, mengeluarkan dekrit 6 Mei 1823 agar tanah dikembalikan ke pemiliknya. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut, dekrit itu juga mewajibkan pemilik tanah memberikan kompensasi batas waktu pengembalian tanah oleh penyewa Eropa.

Kebijakan ini membuat Dipanagara makin kecewa terhadap Kesultanan. Sebab, bukannya menghentikan praktik gelap, Kesultanan membiarkan dan berpihak dengan Belanda. Akibat kesewenangan dan ketidakadilan terhadap masyarakat tersebut, ia memutuskan hubungan dengan Kesultanan.