Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 13 Desember 2020 | 19:30 WIB
Lukisan mahakarya Raden Saleh yang berkisah tentang suasana penangkapan Pangeran Dipanagara. (Raden Saleh/Koleksi Lukisan Istana Presiden )

 

Nationalgeographic.co.id—Pasca lengsernya VOC ke tangan kolonial Belanda yang berada di bawah pengaruh Perancis, Hindia Belanda melakukan perubahan adminsitrasi lewat kepemimpinan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Tapi praktik korupsi masih marak dilakukan tak hanya oleh pemerintah kolonial, tapi juga pemerintahan Kesultanan Mataram yang membuat Pangeran Dipanagara jadi gerah.

Melalui seminar yang diadakan oleh KPK beberapa tahun silam, Peter Carey menyampaikan "Praktik korupsi sejatinya bukanlah hal yang baru dalam tatanan hidup masyarakat melainkan sudah ada sejak dahulu. Korupsi dianggap mampu merusak tatanan sosial dan bahkan dapat memicu instabilitas politik-ekonomi. Ditengarai, perang Dipanagara pun salah satu penyebabnya adalah praktik-praktik korupsi yang merajalela pada saat itu”.

Baca Juga: Bagaimana Cara Belanda Menanggapi Sejarah Kemerdekaan Indonesia?

Onghokham juga dalam Tradisi dan Korupsi, menambahkan bahwa di lingkup kesultanan di Jawa memaknai uang negara adalah uang raja. Pada masa itu pun jual beli jabatan dianggap sesuatu yang legal, dengan cara menyetor upeti kepada raja.

"Di Mataram, tidak ada pusat yang mengurus keuangan negara atau tidak ada sentralisasi keuangan. Setiap jabatan berdiri sendiri dan otonom, yang satu tidak ada huungan dengan yang lain," tulisnya. "Di sini jelas tidak ada pemisahan antara kepentingan pribadi dan umum."

Melalui bukunya yang berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, isu korupsi juga menjadi pemicu Perang Jawa. Ia menuliskan bahwa Pangeran Dipanagara sempat menampar Patih Danureja IV dari Yogyakarta dengan selop akibat penyewaan tanah kerajaan yang diberikan kepada bangsa Eropa.

Tak bisa dipungkiri, usaha penyewaan tanah kepada bangsa Eropa membawa keuntungan yang menggiurkan sehingga membuat pejabat kesultanan korup. Penyewaan tersebut didapat dengan praktik suap yang bisa menggembungkan kantong pejabat.

Dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa, Carey menyebutkan dalam transaksi hasil perkebunan banyak ditemukan praktik uang pelicin dalam bea cukai petugas penjaga gerbang kota. Gerbang kota menjadi tempat yang umum dalam kasus pemerasan dan penyitaan hasil kebun pribumi, maka uang pelicin berfungsi agar pengaduan tersebut tak sampai ke telinga pejabat Jawa.

 

Lukisan saat Dipanagara dan 800 pasukannya mendirikan kemah di sebuah delta di Sungai Progo. Pulau tersebut berada di Dusun Meteseh, Kota Magelang, tak jauh dari Wisma Residen Kedu. (François Vincent Henri Antoine de Stuers/KITLV)

"Ditambah, lika-liku prosedur untuk mengajukan kasus ke pengadilan atau ke hadapan para penguasa adalah cara-cara yang berada di luar kemampuan rata-rata para petani," tulis Carey. "Satunya cara yang dapat ditempuh, untuk dapat membalaskan dendamnya secara sungguh-sungguh, adalah dengan meminta bantuan jago-jago setempat untuk menjarah gerbang tol (masuk kota) atau membakarnya."

Namun lagi-lagi usaha anarkisme tersebut sia-sia karena pemerintah akan membalasnya dengan perundang-undangan Jawa, hingga menyebabkan kerugian yang lebih tinggi hingga nyawa.

Baca Juga: Herman Willem Daendels dalam Pemberantasan Korupsi di Hindia Belanda

Jauh sebelum perang Jawa, Gubernur Jenderal Daendels hanya memberikan tindak pencegahan korupsi pada pejabat-pejabat kolonial, dan membiarkan praktik tersebut terjadi pada kaum pribumi.

Kebijakan Daendels yang bisa dianggap sebagai awal terbentuknya negara hukum (rechtsaat), juga menyebabkan bupati-bupati yang biasanya dijabat golongan pribadi kehilangan pemasukannya. Terutama pada sektor monopoli perdagangan kayu jati yang jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha Tionghoa.

Carey menilai praktik ini jadi pemantik sentimen anti-Tionghoa di masa mendekati Perang Jawa, selain skandal Pangeran Dipanegara dengan tukang pijat peranakan Tionghoa, dan penjaga gerbang kota yang umumnya diisi oleh keturunan Tionghoa.

Keruwetan permasalahan tindakan gelap makin parah terutama saat Gubernur Jenderal van der Capellent, mengeluarkan dekrit 6 Mei 1823 agar tanah dikembalikan ke pemiliknya. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut, dekrit itu juga mewajibkan pemilik tanah memberikan kompensasi batas waktu pengembalian tanah oleh penyewa Eropa.

Kebijakan ini membuat Dipanagara makin kecewa terhadap Kesultanan. Sebab, bukannya menghentikan praktik gelap, Kesultanan membiarkan dan berpihak dengan Belanda. Akibat kesewenangan dan ketidakadilan terhadap masyarakat tersebut, ia memutuskan hubungan dengan Kesultanan.