Panggih bercerita kepada saya tentang hasil empat kamera penjebak itu. Dua tahun silam, seekor komodo betina mulai menggali lubang kamuflase sebagai pertahanan dari komodo dan predator lain. Selang sebulan, komodo betina itu dating kembali ke sarang dan mulai menutupi lubang. Artinya, ia telah menyimpan telur-telurnya ke dalam lubang. Hari-hari berikutnya, ia harus menjaga telur dari serangan musuh.
Rupanya ia cukup tangguh, berhasil mengusir komodo lain, yang berusaha mengganggu. Serangan lain datang lagi di hari lain. Musuh tak berhasil menjamah sarang telurnya, lantaran banyaknya lubang kamuflase dan letak telur yang cukup dalam.
Akhirnya, kabar gembira terdengar. Awal tahun lalu, telur-telur itu menetas. “Sayang sekali, dari 16 telur yang menetas, ada satu anak komodo yang keluar dari jaring yang kami pasang,” keluh Panggih.
“Melihat komodo di Riung adalah bonus. Sebulan kita di Ontoloe belum tentu ketemu mereka,” ujar Panggih sembari berkelakar. “Pasalnya, komodo di sini justru akan lari menjauh saat bertemu manusia. Kalau di Taman Nasional Komodo, orang akan mudah melihat mereka.”
Sampai sekarang pun para pejalan tidak begitu tertarik melihat komodo di Ontoloe. Alasannya, mereka harus menunggu sampai waktu yang tidak pasti. Biasanya, para pejalan berniat singgah ke pulau ini hanya untuk berjumpa dengan satwa malam yang menjadi simbol superhero fiksi.
Ketika senja mulai menjingga, kami menyaksikan pemandangan yang menakjubkan dari atas perahu motor yang melaju. “Lihat disana, itu kelelawarnya. Sebentar lagi mereka akan terbang,” ujar Saverio dengan aksen Flores. Lelaki itu seorang petugas taman wisata. “Sebentar lagi mereka akan terbang. Ribuan!”
Saya menyaksikan kelelawar-kelelawar bergelantungan di pepohonan. Saat senja semakin pekat, suara kepakan sayap dan lengkingan ribuan kelelawar ini memecah kesenyapan semesta. Kebun buah adalah incaran mereka. Mereka kerap dituduh sebagai musuh para warga pemilik kebun buah yang nyaris ludes diserbu satwa malam itu.
Fenomena alam ini hanya terjadi di Ontoloe, dari sekian pulau yang ada di kawasan lestari ini. Kabarnya, jumlah kelelawar di sini mencapai 33.000 ekor. Saya percaya saja ketimbang harus bersusah payah menghitung sendiri. Saat pagi buta, kawanan kelelawar itu akan kembali ke Ontoloe, dan tidur kembali sepanjang mentari terjaga. Ini mirip dengan cerita-cerita Drakula.
Saya bersama Panggih dan teman-teman dari kantor Resor Riung, menumpang perahu motor untuk menjelajahi perairan Flores. Hening alam terpecahkan oleh deru mesin perahu kami. Ombak mengayun, ditingkahi tiupan angin. Sesekali Panggih memberi aba-aba kepada jurumudi untuk menambah laju atau membetulkan arah tujuan.
“Pulau apa itu mas,” tanya saya ke Panggih.
“Itu pulau Rutong,” jawabnya.
Kami beringsut merapat ke pantainya. Dari kejauhan, tampak beberapa kapal bersandar yang membawa para pejalan mancanegara untuk menjelajahi alam bawah laut Rutong.