Nationalgeographic.co.id – Setiap negara di dunia pasti melakukan hubungan perdagangan dari negara lainnya, untuk memenuhi kebetuhan di dalam negeri. Kita mengenal dalam sejarah bahwa, jalur sutera pun menjadi jalan perdagangan antara Eropa dan Asia.
Jauh sebelum itu, Mesir kuno oleh para peneliti juga telah melakukan perdangan antar negara, yang kemudian kegiatan tersebut membantu kita untuk menelusuri jejak Punt, negeri yang hilang dalam catatan sejarah.
Punt kuno setidaknya menjadi mitra dagang Mesir selama 1.100 tahun, dalam menjual barang-barang mewah seperti dupa, emas, kulit macan tutul, dan babon. Negeri tersebut dapat dikunjungi melalui darat dan laut, tapi tampaknya para ahli melihat bahwa perdagangan babun dilakukan oleh pelayaran bangsa Mesir kuno melalui Laut Merah.
Baca Juga: Melihat Ulang Bagaimana Sudut Pandang Menjadi Seorang Pejalan
“Pelayaran jarak jauh antara Mesir dan Punt, dua negara berdaulat, merupakan poin penting dalam sejarah manusia, sebab mendorong evolusi teknologi maritim,” ucap Nathaniel J Dominy, antropolog Dartmouth College dalam rilisan persnya, Selasa (15/12).
Manusia sudah lama melakukan pelayaran perdagangan jarak jauh, terutama untuk jual-beli kerang dan ukiran. Tapi melalui hubungan dagang Mesir-Punt menjadi gambaran bagi para ahli untuk mempertanyakan, bagaimana perkembangan kapal Mesir kuno yang biasanya digunakan untuk berlayar di Sungai Nil, lalu berkembang untuk mengarungi Laut Merah.
“Banyak ahli memandang perdagangan antara Mesir dan Punt sebagai langkah maritim panjang pertama dalam jaringan perdagangan yang dikenal sebagai jalur rempah-rempah, yang akan membentuk kekayaan geopolitik selama ribuan tahun,” ujar Dominy. “Ahli lainnya mengungkapkan, bahwa hubungan Mesir-Punt sebagai awal dari globalisasi ekonomi.”
Baca Juga: Menguak Alasan Migrasi Pelayaran Manusia ke Kepulauan Terpencil
Untuk mengetahui asalnya, Dominy dan timnya mengumpulkan oksigen dan menganalisa kandungan isotop mumi babun yang berada di kuil makam Mesir kuno dari, era Kerajaan Baru (1550-1069 SM), Ptolemaic (305-30 SM), dan mencocokannya dengan babun modern lainnya yang endemik di Afrika timur dan selatan Arab.
Analisa terhadap rasio isotop dapat menentukan asal makanan dan minuman yang dikonsumsi. Hasilnya diyakini bahwa hewan tersebut berasal dari negara yang kini menjadi Ethiopia, Eritrea, Djibouti, Somalia, dan Yaman.