Nationalgeographic.co.id—Karena kekayaan alamnya yang melimpah, membuat dunia mancanegara datang untuk berniaga ke Nusantara. Salah satu kekuasaan di Nusantara yang turut berperan adalah Kesultanan Banten dan sempat berjaya di berkat ekspornya.
Menurut sejarawan Claude Guillot dan timnya dalam buku Banten Sebelum Zaman Islam, keterlibatan Banten di perniagaan perniagaan sudah ada sejak jaman Kerajaan Sunda. Ia mengutip catatan pelancong asal Portugis, Tomé Pires yang sempat singgah di Asia Tenggara, bahwa kawasan tersebut merupak sumber penghasil beras, bahan makanan, dan lada.
Baca Juga: Kisah Pelacur dan Pelacuran Pada Zaman Perdagangan Jalur Rempah
Pada zaman kesultanan, menurut sejarawan Universitas Indonesia, Heriyanti Ongkodharma Untoro dalam tesisnya Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684: Kajian Arkeologi-Ekonomi, Kesultanan Banten menyisakan perdagangannya yang luas di kancah mancanegara.
Hubungan kerjasama politik dan ekonomi Kesultanan Banten cukup luas. Menurut sejarawan Hindia-Belanda, J.A van der Chijs dalam Oud Bantam, relasi pada kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa tak hanya dengan kesultanan-kerajaan di sekitar Nusantara, tetapi juga dengan Ottoman Turki, Inggris, Perancis, Denmark, dan Mongol. Sehingga kesultanan ini juga mendapat bantuan perangkat militer seperti senjata api.
Untoro menyebutkan, Kesultanan Banten bisa disebut sebagai emporium (kota pelabuhan dagang mancanegara) seperti Kesultanan Aceh dan Makassar. Aktivitas perekonomian tingkat mancanegaranya di masa lalu, membuat keberadaannya dapat dilacak lokasinya secara arkeologis di tepi teluk Banten.
Baca Juga: Pala dan Cengkih, Rempah Nusantara yang Menjadi Primadona di Maluku
Alasan mengapa para pedagang asing memilih berniaga ke Banten, menurut D.H Burger dan Prajudi Atmosudirjo dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, karena pada abad ke-16, Selat Malaka yang umumnya menjadi jalur perniagaan laut nusantara, dimonopoli Portugis yang sekaligus bermaksud menyebarkan agama Katolik.
"Oleh karena itu banyak di antara pedagang Islam dari Malaka yang menyingkir ke Aceh dan Banten, bahkan tidak sedikit pula saudagar-saudagar Malaka yang pindah dan bertempat tinggal di Banten, yang bercitra agama Islam," tulis mereka.
Perkembangan ekonomi negerinya pun dikelola oleh berbagai etnis yang mendapatkan jabatan sebagai syahbandar (pegawai negeri) dan ulama, mulai dari pribumi asli Banten, Tionghoa, India Gujarat, Arab, dan Eropa.
Baca Juga: Pesona Lada Aceh, dari Ottoman hingga Eropa Barat
Berdasarkan dokumentasi VOC, cengkeh merupakan komoditas ekspor terbesar dari Banten yang jumlahnya bisa mencapai 300.000 pon pada 1636. Cengkeh memang bukanlah hasil budidaya masyarakat Banten, melainkan didatangkan dari Maluku oleh para pedagang Banten untuk diekspor ke luar nusantara.