Saya Pilih Bumi: Laut Bukan Tempat Sampah, Jaga Tetap Lestari

By Fikri Muhammad, Selasa, 5 Januari 2021 | 11:45 WIB
Berbagi Cerita: Laut Bukan Tempat Sampah di atas kapal Portlink III pelayaran Merak-Bakauheni. (Fikri Muhammad/National Geographic Indonesia)

Tapi yang jadi masalah bahwa mereka belum bisa memilah sampah pada tempat yang disediakan. Sampah kering masih dicampur dengan sampah basah. Organik masih bercampur dengan non-organik.

"Mereka tidak tahu, walaupun kami sudah pisahkan. Tidak tahu kalau nasi bungkus itu bentuknya organik apa non-organik," tutur Mario. 

Penumpang Kapal Portlink III Merak-Bakauheni (Fikri Muhammad/National Geographic Indonesia)

Keberhasilan suatu edukasi supaya masyarakat tidak membuang sampah ke laut tidak ada ujungnya menurut Mario. Tetapi dari hal-hal kecil, jerih payah edukasi dapat terlihat. Seperti ketika assesment dari petugas kebersihan di kapal. Mereka adalah orang pertama yang menemukan sampah di kapal, apakah pekerjaanya menjadi lebih berat atau lebih ringan. Jika lebih ringan maka upaya ini membuahkan hasil.

Patokan lainya adalah penambahan personil pada musim libur. Jika rekrutmenya bertambah maka belum dinyatakan berhasil. Jika berkurang, maka edukasi ini harus digiatkan kembali.

Tak ketinggalan, Berbagi Cerita kali ini juga dihadiri oleh komedian bernama Muhamamad Hifdzi Khoir. Candanya yang satir dapat mencairkan suasana sambil mengingat kembali kelestarian laut Merak-Bakauheni di tahun-tahun sebelumnya.

"Dulu, kalau misalnya beruntung, naik kapal feri di tahun 2000 awal, kita bisa lihat lumba-lumba di Selat Sunda. Gara-gara buang sampah sembarangan di laut, dia malah makan mie instan. Mana rasanya yang dia nggak suka lagi, setau saya dia suka rasa kari ayam bukan ayam bawang," komedi Hifdzi diselingi oleh tawa penumpang.

Muhamamad Hifdzi Khoir sedang menghibur penumpang kapal Portlink III Merak-Bakauheni dengan komedi bertema sampah dan laut. (Fikri Muhammad/National Geographic Indonesia)

Selama kegiatan ASDP bersama National Geographic Indonesia. Komunitas Saya Pilih Bumi mengajak penumpang kapal untuk menukarkan botol plastik dengan merchandise. Saat itu total botol plastik terkumpul selama 24-27 Desember 2020 di Pelabuhan Merak sebanyak 16 kg. Sementara di Pelabuhan Bakauheni sebanyak 14,5 kg

Kemudian, sampah botol plastik itu pun diserahkan kepada Bank Sampah Digital. Sebuah perusahaan rintisan di Kota Serang yang berdiri sejak Februari 2020.

Iyadullah, CEO Bank Sampah Digital menerima sampah botol plastik dari Komunitas Saya Pilih Bumi (Fikri Muhammad/National Geographic Indonesia)

Bank Sampah Digital menerima hampir 26 jenis sampah dengan harga yang berbeda-beda. Mulai dari tiga ribu rupiah per kilogram hingga lima ribu rupiah per kilogram. Teruntuk sampah organik tidak dikonversi ke dalam rupiah. Melainkan menjadikanya sebagai olahan kompos.

Setelah dikumpulkan, sampah-sampah tadi akan dijual lepas ke pabrik atau pengepul besar. Iyadullah mengatakan, kedepanya, Bank Sampah Digital juga akan membuat pengolahan sendiri. Tujuan dari berdirinya perusahaan rintisan ini juga menyadarkan m

"Kami mau menyadarkan masyarakat tentang penanganan sampah. Bagaimana memilah-milih sampah. Terutama rumah tangga. Kita membungkus nama bank karena pemilahan sampah akan mendapat nominal berupa rupiah. Sampah yang harusnya mereka buang kami angkut dan dibayar," ucap Iyadullah, CEO Bank Sampah Digital kepada National Geographic Indonesia di Serang.