The Sin Nio dan Ho Wan Moy, Srikandi Tionghoa untuk Kemerdekaan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 20 Januari 2021 | 10:00 WIB
Sosok The Sin Nio, salah satu veteran pejuang kemerdekaan Indonesia. ()

Nationalgeographic.co.id—Perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan tak hanya berasal dari golongan laki-laki pribumi saja. Ketika Belanda yang menginginkan kembali menancapkan bendera triwarnanya di Bumi Pertiwi, semua rakyat Indonesia berjuang bersama—tanpa meamndang gender, keturunan, dan agama.

Kebanyakan perempuan memberi dukungan dan bantuan kepada para pejuang dari logistik. Sebab, lingkungan perjuangan garis terdepan bernuansa patriarkis pada masanya. Namun, ada segelintir perempuan Tionghoa, demi cintanya untuk negeri ini, bersedia tampil di garis depan perjuangan fisik dan bergerilya dengan para pejuang lainnya.

Demi dapat bergabung dengan gerilyawan, The Sin Nio merubah identitas administrasinya sebagai laki-laki dengan nama Mochamad Moeksin. Sehingga dia pun dapat bergabung dengan pejuang lainnya dalam Kompi 1 Batalyon 4 Resimen 18, demikian berdasarkan laporan majalah Sarinah edisi 6 Agustus 1984. Majalah itu koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Tangerang Selatan.

Perempuan asal Wonosobo tersebut, menurut keterangan cucunya, Rosalia Sulistiawati saat dihubungi National Geographic Indonesia, ia turut berperan di bidang logistik dan persenjataan. Setelah menjadi bagian logistik, ia dipindahkan ke bagian perawat.

Tak banyak gambaran secara detail mengenai sosok The Sin Nio pada masa perjuangan kemerdekaan.

Sejak 1973 ia meninggalkan keluarganya untuk pergi ke Jakarta untuk menuntut haknya sebagai veteran. Ia baru mendapatkan pengakuan sebagai veteran pada 15 Agustus 1981, berdasarkan Surat Keputusan yang ditandatangani Wakil Panglima ABRI, Laksamana Sudomo. Akan tetapi, pengakuan tersebut tak beriringan dengan cairnya hak tunjangan veterannya.

“Oma terlunta-terlunta sampai menempati rumah di pinggir rel, saya pernah ke sana sama Papa. Seperti kontrakan gitu. Kalau kereta lewat rumahnya bergetar,” kenang Rosalia. “Hanya papa saya yang sering berkunjung ke Jakarta, nengokin Oma. Kalau ada papa ada urusan di Jakarta sering menyempatkan ketemu Oma.”

Ia menghabiskan sisa hidupnya hingga meninggal pada 1985 di usia 70 tahun di kawasan kumuh di dekat Stasiun Juanda, Jakarta. “Saya tidak mau merepotkan bangsa saya, biarlah saya hidup dan mati dalam kesendirian, karena hanya Tuhan yang mampu memeluk dan menghargai gelandangan seperti saya!” ucap The Sin Nio pada majalah Sarinah.

Ho Wan Moy (Tika Nurwati)

Sejak muda, Tika Nuwrwati telah terlibat perjuangan kemerdekaan di Jawa Tengah. Ia pun mendapat penganugerahan Bintang Gerilya dan Bintang Veteran pasca kemerdekaan. Keberaniannya, diungkap oleh Lisa Suroso dalam Suara Baru edisi Maret-April 2008 berkat pejuang yang datang padanya, Herman Sarens Soediro dari Kompi Tentara Pelajar Siliwangi.

“Kamu jangan takut. Walaupun kamu perempuan dan Tionghoa, kamu harus berani,” ucap pejuang muda itu pada Ho Wan Moy.

Dorongan itulah yang membuatnya ikut berperan dalam gerilya. Ia sempat menjadi para pejuang ke tempat persembunyian senjata di Banjar. Kemudian bergabung Palang Merah Indonesia dan Laskar Wanita Indonesia untuk merawat pejuang yang terluka, mengurusi logistik tentara, dan merangkap sebagai mata-mata.