The Sin Nio dan Ho Wan Moy, Srikandi Tionghoa untuk Kemerdekaan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 20 Januari 2021 | 10:00 WIB
Sosok The Sin Nio, salah satu veteran pejuang kemerdekaan Indonesia. ()

Tika Nurwati (Ho Wan Moy) (Lisa Suroso/Suara Baru)

Kisahnya menjadi mata-mata bermula dari habisnya persediaan singkong dan beras milik keluarganya setelah disumbangkan kepada gerilyawan. Ia terpaksa harus ke kota melewati pos-pos Belanda untuk belanja. Beruntung ia tak dicurigai.

Sesaat melewati pos-pos Belanda, ia juga mencatat jumlah tantara yang berjaga. Ia mengungkapkan bila tentara yang berjaga adalah pasukan Belanda Hitam (sebutan untuk tentara KNIL pribumi saat itu), dan sedikit yang Belanda putih.

Setelah melewati perjalanan yang menegangkan, ia langsung memberikan data-datanya kepada Soediro Wirjo Soehardjo—ayah dari Herman—yang menangani masalah logistik Batalyon IV Resimen XI Divisi III Siliwangi.

Desember 1947, Ho Wan Moy dipercaya oleh Soediro untuk dititipkan rombongan perempuan ketika kampungnya hendak digempur. Ia mendapat kabar bahwa orang Tionghoa di Banjar, Jawa Barat, menjadi sasaran pembantaian di tengah-tengah suasana kacau.

Ia juga menyampaikan kesaksiannya saat nekat ke kota untuk mencari Soediro yang bergerilya. Ia menemukan jasad bapak—panggilannya untuk Soediro—tak bernyawa tak jauh dari jenazah pamannya yang juga turut berjuang. Malam itu juga, keduanya dimakamkan Ho Wan Moy bersama ibu dan neneknya.