Kisah Perempuan Penyintas Tragedi 1965 : Ada Kekuasaan di Atas Pemerkosaan

By Celine Veronica, Jumat, 15 Januari 2021 | 11:07 WIB
Setelah peristiwa 30 September 1965, terjadi kekerasan kepada perempuan di Indonesia. Tanpa dasar hukum dan peradilan, mereka menanggung pelecehan seksual hingga penyiksaan berujung kematian. Kabar dusta yang diembuskan penguasa menjadi bagian takdir mereka sampai mati. (Ilustrasi)

Baca Juga: Kilas Balik Perempuan Indonesia: Jejak Perempuan Untuk Perubahan

Suatu ketika, Yanti pun mendapat giliran panggilan “pemeriksaan”. Satu demi satu pertanyaan diajukan kepadanya. Setiap kali pertanyaan tentang politik dan organsasi, dia hanya terdiam. Di usianya yang sangat muda, dia tidak mengetahui politik dan organisasi yang diikutinya. Dengan ketakutan yang luar biasa, dia hanya bisa menjawabnya dengan tangisan.

“Habisi saja! Habisi!,” teriak seseorang tentara.

Tak lama, beberapa orang menerkam Yanti dengan menjambak rambut, melucuti pakaiannya, dan mendorong tubuh kecilnya hingga terlentang di lantai. Kemudian, tubuh seseorang sudah terlungkap di atas tubuh Yanti dan menyetrum tubuhnya yang paling sensitif hingga tak sadarkan diri.

Suatu hari dia dimasukan ke dalam ruangan kecil untuk bertemu wartawan. Di dalam ruangan itu, dia dipaksa untuk menjawab “Ya” di depan wartawan. Jika tidak, nyawa Yanti akan melayang.

Baca Juga: Arkeolog: Di Masa Kerajaan Klasik, Pria dan Wanita Berkedudukan Setara

Dalam ruangan tersebut sudah ada wartawan dan dua orang fotografer. Mereka bertanya beramai-ramai. Apakah benar Dia ikut melakukan penyiksaan kepada para jenderal? Apakah benar dia ikut menari-nari tarian “Harum Bunga” sambil telanjang di depan para jenderal, dan sebagainya. Dengan pertanyaan itu, Yanti yang tidak tahu apa-apa harus menjawab “Ya” dan “Ya” saja.

Kasus Yanti tidak pernah dipersidangkan. Dengan jawaban “Ya”, Yanti telah bercerita kepada masyarakat seluruh Indonesia, dan bahkan seluruh dunia, bahwa Yanti salah seoranng diantara mereka yang telah menyiksa jendral-jendral Angkatan Darat dan menyayat penis mereka.

Meskipun Yanti sudah dibebaskan pada 1977, namun ia masih mendapat pelecehan seksual dari salah satu tentara. Dia sudah hidup tentram bersama keluarganya, meskipun dalam kemiskinan.

Sebelum wafat, dia punya keinginan untuk bertemu dengan keluarga para jenderal. Dia tidak ingin menceritakan peristiwa 1965, namun dia hanya ingin menceritakan kepada mereka bahwa dia bukan pembunuh jenderal-jenderal itu.