Kisah Perempuan Penyintas Tragedi 1965 : Ada Kekuasaan di Atas Pemerkosaan

By Celine Veronica, Jumat, 15 Januari 2021 | 11:07 WIB
Setelah peristiwa 30 September 1965, terjadi kekerasan kepada perempuan di Indonesia. Tanpa dasar hukum dan peradilan, mereka menanggung pelecehan seksual hingga penyiksaan berujung kematian. Kabar dusta yang diembuskan penguasa menjadi bagian takdir mereka sampai mati. (Ilustrasi)

Nationalgeographic.co.id – “Saya hanya mempunyai satu keinginan sebelum saya mati. Yaitu bertemu keluarga almarhum jenderal-jenderal itu. Saya mau menceritakan kepada mereka, saya bukan pembunuh jenderal apalagi penyayat-nyayat penis mereka,” ungkap Yanti.

Kesaksian itu terungkap dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi ’65 yang dihimpun oleh Ita F. Nadia, terbit pada 2007. Kisah ini dinukil dari buku tersebut.

Ketika ditangkap Yanti masih berusia 14 tahun, dan masih duduk di bangku SMP. Yanti lahir tahun 1951 di sebuah kampung di Jakarta Timur. Di luar sekolah Yanti tergabung dalam ormas Pemuda Rakyat di kampungnya. Yanti juga gemar menari, oleh karena itu Yanti mengikuti latihan tari yang diadakan organisasi.

Baca Juga: Cerita Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia

Pada suatu hari, Yanti dan teman-temannya mengikuti latihan sukarelawan di Kampung Lubang Buaya, Jakarta Timur. Latihan sukarelawan ini memiliki tujuan yaitu membentuk pasukan sukarelawan, untuk mendukung politik konfrimasi terhadap negara boneka Malaysia, sebagai proyek Nekolim Inggris-Amerika Serikat.

Di usia yang sangat muda, Yanti tidak mengerti soal politik. Ia hanya tahu dari orang yang dianggapnya lebih mengerti dan berpengalaman. Selama latihan Yanti tinggal di barak-barak bersama peserta latihan sukwan. Dari pagi sampai petang Yanti terus berlatih, tidak peduli dua atau tiga bulan latihan ini. Di sela-sela latihan yang keras dan disiplin, Yanti mendapat waktu untuk latihan nyanyi dan menari.

Namun, suasana tersebut berubah ketika pasukan tentara bersenjata serentak menggerebek barak-barak penginapan pada waktu pagi buta. Suara-suara dan tembakan gencar membabi buta dihambur-hamburkan ke langit. Suasana menjadi kalang kabut, dan Yanti ketakutan. Tentara tersebut membawa mereka semua untuk keluar dengan mengayun-ayunkan senjata ke kiri dan kanan untuk mencari sasaran tubuh-tubuhnya. Tak hanya itu, beberapa orang yang berjaga di pintu depan dan belakang barak, menghajar mereka semua dengan ditinju atau alat pemukul apa saja.

Baca Juga: Editorial Edisi Agustus 2020: Relik Suram Pascaperang Asia Timur Raya

“Setan! Perempuan-perempuan biadab!,” teriak tentara. “Kamu ya? Yang membunuh dan menyayat-nyayat jenderal-jenderal kami!?,” tambahnya.

Sambil berteriak-teriak tentara itu memukul sekujur tubuh mereka dengan membabi buta. Mereka digiring ke tanah lapang tempat biasa melakukan latihan sehari-hari. Ditempat ini, Yanti dan teman-temannya dipaksa untuk telanjang. Jika menolak,  tangan tentara akan membuka paksa dengan membetot lepas dan merobek-robek busana mereka.

Selama dua hari, mereka dijemur tanpa makanan, minuman, dan sehelai pakaian. Siang malam hanya bisa duduk, berbaring, tiduran atau jatuh tertidur di lapangan.Tak peduli siang atau malam, serdadu penjaga mondar-mandir mengamati mereka. Tidak jarang, serdadu melecehkan semua perempuan di sana.

Pada hari ketiga, mereka dibagikan pakaian, lalu digiring ke dalam barak yang kosong. Mereka dikumpulkan dengan alasan pemeriksaan. Namun, alasan pemeriksaan hanyalah dalih belaka. Mereka akan dijadikan pelampiasan nafsu aniaya saja. Beraneka macam bentuk aniaya itu: menyelomoti payudara dengan api-rokok, membakar rambut kemaluan, dan perusakan organ seksual dengan leher botol, tongkat pemukul, laras senjata dan lain-lain.

Baca Juga: Kilas Balik Perempuan Indonesia: Jejak Perempuan Untuk Perubahan

Suatu ketika, Yanti pun mendapat giliran panggilan “pemeriksaan”. Satu demi satu pertanyaan diajukan kepadanya. Setiap kali pertanyaan tentang politik dan organsasi, dia hanya terdiam. Di usianya yang sangat muda, dia tidak mengetahui politik dan organisasi yang diikutinya. Dengan ketakutan yang luar biasa, dia hanya bisa menjawabnya dengan tangisan.

“Habisi saja! Habisi!,” teriak seseorang tentara.

Tak lama, beberapa orang menerkam Yanti dengan menjambak rambut, melucuti pakaiannya, dan mendorong tubuh kecilnya hingga terlentang di lantai. Kemudian, tubuh seseorang sudah terlungkap di atas tubuh Yanti dan menyetrum tubuhnya yang paling sensitif hingga tak sadarkan diri.

Suatu hari dia dimasukan ke dalam ruangan kecil untuk bertemu wartawan. Di dalam ruangan itu, dia dipaksa untuk menjawab “Ya” di depan wartawan. Jika tidak, nyawa Yanti akan melayang.

Baca Juga: Arkeolog: Di Masa Kerajaan Klasik, Pria dan Wanita Berkedudukan Setara

Dalam ruangan tersebut sudah ada wartawan dan dua orang fotografer. Mereka bertanya beramai-ramai. Apakah benar Dia ikut melakukan penyiksaan kepada para jenderal? Apakah benar dia ikut menari-nari tarian “Harum Bunga” sambil telanjang di depan para jenderal, dan sebagainya. Dengan pertanyaan itu, Yanti yang tidak tahu apa-apa harus menjawab “Ya” dan “Ya” saja.

Kasus Yanti tidak pernah dipersidangkan. Dengan jawaban “Ya”, Yanti telah bercerita kepada masyarakat seluruh Indonesia, dan bahkan seluruh dunia, bahwa Yanti salah seoranng diantara mereka yang telah menyiksa jendral-jendral Angkatan Darat dan menyayat penis mereka.

Meskipun Yanti sudah dibebaskan pada 1977, namun ia masih mendapat pelecehan seksual dari salah satu tentara. Dia sudah hidup tentram bersama keluarganya, meskipun dalam kemiskinan.

Sebelum wafat, dia punya keinginan untuk bertemu dengan keluarga para jenderal. Dia tidak ingin menceritakan peristiwa 1965, namun dia hanya ingin menceritakan kepada mereka bahwa dia bukan pembunuh jenderal-jenderal itu.