Tanda Mata Dari Warga untuk Korps Pemadam Kebakaran Jakarta

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 15 Januari 2021 | 00:34 WIB
Mobil pemadam kebakaran Brandweer Batavia pada awal abad ke-20. (Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta)

"Tanda Peringatan Brandweer Batavia 1919 – 1929"

Di dalam masa jang soeda soedaBahaja api djarang tertjegaHabis terbakar langgar dan roemaTidak memilih tinggi dan renda

Sepoeloeh tahoen sampai sekarangSemendjak brandweer datang menentangBahaja api moedah terlarangMendjadikan kita berhati girang

Tanda girang dan terima kassiKami semoea orang BetawiMenghoendjoekan pada hari jang iniTanda peringetan boekan sepertiBetawi, 1 Maart 1929Nationalgeographic.co.id—Tiga bait puisi yang terukir dalam sebuah plakat itu kini tersimpan di Kantor Pemadam Kebakadan dan Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta. Plakat tersebut dibuat ketika Brandweer Batavia merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh pada 1929. Prasasti menunjukkan bahwa pemadam kebakaran kota telah terbentuk secara resmi pada 1 Maret 1919.

Sejatinya soal kebakaran ini telah menjadi perhatian Residen Batavia sejak 1873. Pemerintah kota telah mengumumkan adanya peraturan tentang Dinas Pemadam Kebakaran untuk Kota Batavia dan sekitarnya.

Namun demikian, kebakaran dahsyat yang menghanguskan Kampung Kwitang, Jakarta Pusat pada 1913 telah membuktikan tak mampunya Batavia dalam hal penanggulangan bencana kebakaran. Beberapa kebijakan pun bergulir, salah satunya tentang pembagian urusan pemadam kebakaran, tim pemadam kebakaran sipil dan militer.

Tanda Peringatan Brandweer Batavia yang diberikan warga ketika lembaga itu berulang tahun kesepuluh. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)
Pada akhirnya Residen Batavia melakukan reorganisasi tim pemadam kebakaran dan mendirikan Kantor Brandweer Batavia di kawasan Gambir, Jalan Ketapang Nomor 71—kini Jalan K.H. Zainul Arifin.

Batavia telah menjelma menjadi Jakarta, metropolitan dengan permukiman yang padat. Kini, setiap hari setidaknya dua hingga tiga kebakaran menghanguskan sudut-sudutnya. Dari data resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunjukkan bahwa jumlah hidran di Jakarta sangat jauh dari memadai. Pada 2011, National Geographic Indonesia mencatat 1.424 unit hidran. Sementara pada 2020 jumlah itu menyusut menjadi 1.347 unit. Idealnya kota ini memiliki 20.000 unit hidran.

1.347 Sumber: https://mediaindonesia.com/megapolitan/339503/jumlah-hydrant-di-jakarta-kurang-ideal
1.347 Sumber: https://mediaindonesia.com/megapolitan/339503/jumlah-hydrant-di-jakarta-kurang-ideal

Dari jumlah hidran yang ada hampir separuhnya rusak. Bahkan dari hidran yang masih berkondisi baik, petugas pemadam tak bisa menjamin kelancaran airnya.

Kepanikan warga ketika kebakaran memang bisa dimaklumi para petugas. Namun kadang warga yang panik tersebut mengganggu usaha pemadaman dengan cara merebut selang dari tangan petugas. Kadang terjadi pertikaian antarwarga sendiri karena saling berebutan selang. Mereka yang berebut adalah warga yang rumahnya belum terbakar. Akibatnya selang dengan tekanan delapan bar terlepas dan meliuk-liuk tak terkendali, malah menimbulkan bahaya baru.

Sekelompok personel pemadam kebakaran Group A beristirahat makan siang di Markas Suku Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, Provinsi DKI Jakarta. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Tak hanya itu, kejadian lain yang menguji samudra kesabaran para pemadam adalah seringnya panggilan bencana kebakaran palsu. Masih kerap dijumpai kasus panggilan palsu yang membuat petugas kerepotan. Operator radio di pusat komando kini lebih teliti jika menerima berita panggilan kebakaran yang masuk dari nomor 113. Untuk memperoleh data kejadian kebakaran yang valid, para petugas operator selalu menanyakan dengan detail  nama pelapor, nomor telepon yang bisa dihubungi, lokasi kebakaran, dan pokok benda yang terbakar.

Setimpalkah apa yang mereka terima dari perlakuan warga dibanding dengan darma yang telah mereka tunaikan? Jawabnya, petugas tak pernah berpikir tentang balasannya. Mereka hanya menjawab panggilan kemanusiaan untuk menolong. Ketulusan sudah menjadi tekad mereka. Namun masih saja ada warga yang mengira untuk memanggil bantuan petugas pemadam dibutuhkan biaya. Sikap warga tersebut membuat hati sebagian petugas sedih dan mengelus dada.

Akhirnya, di kota ini para petugas pemadam kebakaran kerap mendapat cacian warga—atas alasan terlambat atau sulitnya mendapat pasokan air. Namun, banyak pula warga yang menyanjungnya sebagai pahlawan metropolitan—yang terlupakan oleh hiruk-pikuknya kehidupan. 

Wahyudi, seorang petugas pemadam kebakaran DKI Jakarta mengisahkan ketika ia dan pasukannya tengah duduk letih di pinggir jalan usai pemadamaman di daerah dekat Stasiun Tanah Abang. Tiba-tiba seorang perempuan menghampirinya sambil memberikan sebungkus ongol-ongol, jajanan khas betawi. “Seorang gadis cantik memberikan bungkusan sambil mengucapkan terima kasih kepada saya dan berlalu begitu saja,” kenang Wahyudi. “Di tengah cacian warga yang tak puas dengan kinerja pemadam kebakaran, masih ada saja orang yang peduli dengan kami,” ucapnya.