Kisah Para Petugas Pemadam Kebakaran di Metropolitan Jakarta

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 7 Februari 2021 | 12:08 WIB
Sekelompok personel pemadam kebakaran Group A beristirahat makan siang di Markas Suku Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, Provinsi DKI Jakarta. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Ketika berstatus pegawai tidak tetap, Wahyudi dan Jemi mencoba menerima apa adanya makna kehidupan dan menjalani dengan ikhlas. Saat itu mereka mendapat gaji sekitar Rp925 ribu per bulan. Bagi pegawai tidak tetap, satu-dua bulan tidak menerima gaji mungkin adalah hal biasa. “Waktu masih honorer, saya sering telat  terima gaji, tunjangan telat. Kadang gaji Januari baru dibayarkan Maret,” kenang Wahyudi.

Sejak pertengahan tahun lalu Wahyudi dan Jemi telah diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Kesejahteraan pun jadi lebih baik karena ada penyesuaian tunjangan. Pegawai yang telah menikah dan berstatus CPNS berkesempatan bermukim di asrama. Selain dekat dengan tempat bertugas, tinggal di asrama yang diresmikan pembangunannya oleh Gubernur Ali Sadikin awal 1970-an ini dirasa lebih sejahtera. Kini tak kurang dari 327 kepala keluarga mendiami banjar-banjar asrama dinas pemadam Jakarta Pusat dengan bangunan rumah dua lantai seluas tujuh puluh meter persegi.

Ada aturan tak tertulis bagi calon penghuni asrama. Setiap keluarga yang bermaksud ingin menempati asrama harus memberikan uang sekitar Rp3-5 juta kepada pemilik yang akan meninggalkan asrama itu. ”Yah, itung-itung membantu mereka yang sudah pensiun,” tukas Wahyudi ikhlas.

Petugas pemadam kebakaran adalah pekerjaan unik. ”Orang lain bekerja menghindari bahaya, tapi pemadam justru bekerja menghadang bahaya”, kata Wahyudi. Pendapatnya bukan tanpa alasan. Setiap menjalani tugas, seorang pemadam bak bergadai nyawa sejak berada dalam perjalanan, risiko konflik dengan warga atau preman setempat, hingga pemadaman di lokasi kebakaran.

Sesampainya di lokasi kadang petugas disambut umpatan kekecewaan warga karena dianggap terlambat datang dan bekerja sangat lamban. Tak jarang petugas harus berhadapan dengan kepanikan warga yang cenderung brutal dan membahayakan jiwa petugas. ”Kalau pekerjaan berhasil tidak mendapat pujian, tetapi kalau pemadaman tidak berhasil dianggapnya kelalaian petugas, kurang cekatan, tidak bawa air,” ujar Widodo Ngadono (54) lelaki mantan pasukan pemadam yang kini menjadi polisi khusus pemadam.

Gatot Santoso (31) seorang pengemudi mobil pompa satuan Bantuan Operasional pernah dipaksa warga memasuki gang sempit. Awalnya lelaki mantan satpam ini menolak, namun seorang warga tiba-tiba mengancamnya dengan kalungan celurit. Gatot berat hati menyanggupi permintaan warga. Mobil pompa berhasil masuk ke permukiman meski rusak parah setelah menerobos gang sempit, melibas kandang ayam, dan merubuhkan gapura.

Karyawan perusahaan melihat aksi petugas pemadam kebakaran dalam simulasi penanggulangan bahaya kebakaran. Sosialisasi keamanan gedung menjadi bagian program Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana. (Editor)

Kepanikan warga ketika kebakaran memang bisa dimaklumi para petugas. Namun kadang warga yang panik tersebut mengganggu usaha pemadaman dengan cara merebut selang dari tangan petugas. Kadang terjadi pertikaian antarwarga sendiri karena saling berebutan selang. Mereka yang berebut adalah warga yang rumahnya belum terbakar. Akibatnya selang dengan tekanan delapan bar terlepas dan meliuk-liuk tak terkendali, malah menimbulkan bahaya baru.

Tak hanya itu, kejadian lain yang menguji samudra kesabaran para pemadam adalah seringnya panggilan bencana kebakaran palsu. Sepanjang tahun lalu, setidaknya 8 kasus panggilan palsu per bulan di DKI Jakarta telah membuat petugas kerepotan. Operator radio di pusat komando kini lebih teliti jika menerima berita panggilan kebakaran yang masuk dari nomor 113. Untuk memperoleh data kejadian kebakaran yang valid, para petugas operator selalu menanyakan dengan detail  nama pelapor, nomor telepon yang bisa dihubungi, lokasi kebakaran, dan pokok benda yang terbakar.

Setimpalkah apa yang mereka terima dari perlakuan warga dibanding dengan darma yang telah mereka tunaikan? Jawabnya, petugas tak pernah berpikir tentang balasannya. Mereka hanya menjawab panggilan kemanusiaan untuk menolong. Ketulusan sudah menjadi tekad mereka. Namun masih saja ada warga yang mengira untuk memanggil bantuan petugas pemadam dibutuhkan biaya. Sikap warga tersebut membuat hati sebagian petugas sedih dan mengelus dada.

Tentu saja tak semua warga Jakarta bertabiat beringas dan susah diatur. Masih banyak warga di belahan Jakarta lainnya yang bekerja membantu pemadam. Contohnya saat warga Jatibaru memberikan beberapa kardus air mineral untuk meredakan rasa haus para petugas. Wahyudi juga mengisahkan ketika ia dan pasukannya tengah duduk letih di pinggir jalan usai pemadamaman di daerah dekat Stasiun Tanah Abang. Tiba-tiba seorang perempuan sebayanya menghampiri sambil memberikan sebungkus ongol-ongol, jajanan khas betawi. “Seorang gadis cantik memberikan bungkusan sambil mengucapkan terima kasih kepada saya dan berlalu begitu saja,” kenang Wahyudi. “Di tengah cacian warga yang tak puas dengan kinerja pemadam kebakaran, masih ada saja orang yang peduli dengan kami,” ucapnya haru.

Selain api, masih ada lagi musuh bebuyutan para ksatria. Seperti kisah pemadaman tragis yang hampir merenggut nyawa Solihin (24) di pagi buta empat tahun lalu. Derasnya air pancaran nozzle merobohkan atap seng dan tepat jatuh mengenai badan Solihin. Seketika itu pula timbul percikan api. Lelaki malang itu tersengat listrik dan langsung tak sadarkan diri. Tubuhnya jatuh menjuntai di rawa. Untuk beberapa saat jantungnya tak berdenyut. Pencurian listrik di perkampungan itu adalah penyebab kecelakaan yang dialami Solihin. Ia koma selama dua hari dan dokter telah memvonis hidupnya tak bertahan lama, kalau pun hidup ia akan mengalami cacat.