Kisah Para Petugas Pemadam Kebakaran di Metropolitan Jakarta

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 7 Februari 2021 | 12:08 WIB
Sekelompok personel pemadam kebakaran Group A beristirahat makan siang di Markas Suku Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, Provinsi DKI Jakarta. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Kotak mungil berisi mainan mobil brandweer berwarna merah, lengkap dengan tangga penyelamatnya, dibingkiskan istimewa untuk saya di hari ulang tahun keenam. Ucapan selamat dan senyum girang pun berbalasan. Ah, masa kanak-kanak yang indah. Lebih dua puluh lima tahun kemudian kenangan itu muncul. Saya terjaga bahwa keadaan kota tempat saya tinggal semakin menggelisahkan seiring banyaknya raungan sirene dan deru mobil-mobil pemadam kebakaran menunaikan darmanya. Sudah menjadi hal yang tak lagi garib di kota berkepadatan penduduk tertinggi di Indonesia ini jika jago merah bertubi-tubi mencekam warga.

Tatkala teriknya surya di Jatibaru awal tahun ini, seorang nenek berteriak-teriak minta tolong karena api telah berkobar hebat di atap rumah semipermanennya. Jilatan api pun dengan cepat menyambar atap rumah tetangganya. Bencana di pemukiman kumuh nan padat itu adalah kebakaran ketiga dari lima kejadian bencana kebakaran yang memberangus Jakarta hari itu.

Laporan kejadian kebakaran diterima oleh Kepala Regu Pos Jatibaru, Robert Leonard Mongdong (43). Lelaki peranakan Manado itu  lalu meneruskan informasi melalui radio komunikasi ke Kantor Suku Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (Damkar-PB)Jakarta Pusat. “Ada berita dari orang Dishub yang melapor ke pos, terjadi jaya-enam-lima di belakang Hotel Pharmin! Laporan dari sepuluh-satu-sebelas-dua!” Leonard mengabarkan dengan kode sandi radio pemadam kebakaran. “Luncurkan!” terdengar balasan singkat dari seberang.

Bersama dua rekannya, Leonard bergegas menuju mobil pompa “172”. Sirene mobil merah berlogo bintang bersudut tiga dengan deru kapasitas mesin 5958 cc seketika memecah kemacetan lalu lintas kawasan Tanah Abang. Mereka harus sampai ke lokasi secepat mungkin untuk mencegah api merembet ke pemukiman di sekitarnya. Jarak lintasan tak lebih dari satu kilometer ditempuh kurang dari sepuluh menit. “Sebelas-dua ada di mana? Sebelas-dua ada di mana?” terdengar pertanyaan di radio komunikasi. “Sudah sampai lokasi! Asap tebal! Minta tujuh-enam!” balas Leonard memohon tambahan unit bantuan. “Delapan-enam! Delapan-enam!” balas pusat radio komunikasi pertanda telah mengerti dan permohonan bantuan segera diteruskan ke beberapa pos terdekat.

Petugas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta sedang memadamkan kebakaran hebat di suatu perkampungan padat. (Reynold Sumayku/NGI)

Pintu mobil terbuka, sepatu bot tiga petugas pemadam menjejak di tanah berdebu. Gulungan selang mulai dikeluarkan. Leonard dan seorang petugas masuk tergopoh-gopoh ke lorong sempit dengan membawa selang, mendekati rumah yang sedang terbakar.

Sebagai unit yang datang pertama kali, mereka harus berpisah membagi tugas. Leonard melakukan pemadaman dari sisi depan dengan memanjat atap teras sebuah rumah, sedangkan petugas lain dari sisi belakang melalui tangga dalam salah satu rumah.  Beberapa warga yang terbagi dua kelompok membantu petugas mengarahkan nozzle (kepala selang).

Leonard tertegun memperhatikan warga, yang biasanya susah sekali diatur, hari itu bisa berpadu dengan para petugas. Di lain hari, selang yang belum terpasang di mobil pompa kadang menjadi rebutan warga. Mereka membabi buta merebut selang demi mengamankan rumahnya sendiri. Namun, hari itu warga berpadu memadamkan api bersama petugas pemadam dan bala sukarelawan yang dibentuk khusus untuk mengantisipasi terjadinya bencana.

Sementara itu, sirene tanda bahaya membetas keheningan di pos-pos pemadam penjuru Jakarta Pusat. Di Suku Dinas Damkar-PB Jakarta Pusat, sebagian petugas masih beristirahat usai makan siang. Wahyudi (27) yang sedang bermain tenis meja menyegerakan panggilan tugasnya. Lelaki muda yang telah bertugas enam tahun itu berlari menuju barak untuk mengambil jaket tahan panasnya. Lalu bersama teman satu regunya berlari mengejar mobil penyedot “194” tempatnya bekerja. Dalam mobil itulah helm, sepatu bot, dan peralatan telah tersimpan siap.

Rampaknya iring-iringan tersendat oleh sumpeknya kemacetan di persimpangan. Meski suara tanda kondisi darurat meraung, tampaknya pengguna jalan tetap angkuh, menepi pun enggan. Seorang petugas pemadam lengkap dengan helm putih dan jaket oranye turun dari mobil untuk mencairkan keangkuhan pengguna jalan. Lambaian tangannya mengisyaratkan kepada kendaraan di depan konvoi untuk segera melaju, sedangkan dari arah lainnya diminta berhenti. 

Unit-unit mobil pemadam berbagai penjuru kota serentak memadati pinggiran jalan raya Jatibaru. Wahyudi dan mobil unitnya bersiaga di bantaran sungai. Mereka siap menyedot air sungai apabila pasukan di depan mulai kekurangan air. Air memang bagai peluru bagi pemadam, tanpanya pekerjaan mereka akan sia-sia.

Para pemadam tidak bisa mengandalkan hidran karena alat tersebut tak menjangkau pemukiman padat nan kumuh seperti kasus kebakaran kali ini. Di sisi lain, jumlah hidran di Jakarta sangat jauh dari memadai, hanya 1.424 unit dari jumlah ideal 20 ribu unit. Dari jumlah hidran yang ada hampir separuhnya rusak. Bahkan dari hidran yang masih berkondisi baik, petugas pemadam tak bisa menjamin kelancaran airnya.

Akhirnya, selama dua jam kebakaran pun dapat direda. Sebanyak 22 unit mobil dan 110 petugas pemadam telah dikerahkan. Berkat dedikasi mereka, pemukiman padat terhindar dari kebakaran hebat. Leonard dan Wahyudi adalah sosok kecil perjuangan dan pengabdian para kesatria biru.

Banyak kisah merona bahagia dan harunya hidup di balik gagahnya seragam biru dan topi baret para petugas. Merekalah yang selalu siaga saat siang dan terjaga kala malam. 

Titin Sunarsih selalu tak kuasa menahan haru jika teringat putranya, Sulistiyo Putranto, yang gugur saat berdinas memadamkan kebakaran. Bahaya yang mengancam keselamatan para pemadam tidak hanya api, tetapi juga asap, kesetrum listrik, dan tertimpa runtuhan bangunan yang kerap terjadi menyusul peristiwa kebakaran. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Leonard tinggal bersama anak dan istrinya di Tangerang, sekitar 35 kilometer dari tempatnya bekerja. Ia bertugas di kantor pemadam tingkat kelurahan yang berkekuatan empat petugas setiap harinya dan satu mobil pompa berkapasitas empat ribu liter.

Lelaki tamatan SMA ini telah menekuni pekerjaan sebagai pemadam sejak dua puluh tahun yang lalu. Ia adalah salah satu dari sekian banyak pemadam yang mengikuti jejak keluarga. Kakeknya pernah bertugas di “Brandweer Batavia”, pasukan pemadam zaman kolonial di Jakarta. Kala kakeknya pensiun, lembaga pemadam masih bernama “Barisan Pemadam Kebakaran”. Sedangkan ayahnya pernah bertugas di pasukan dinas pemadam sejak 1970-an hingga wafat jelang pensiun 1991.

Meski dari keluarga pemadam kebakaran, menjadi seorang pemadam bukanlah cita-cita Leonard. Tadinya ia bercita-citanya sebagai pelaut. “Ayah saya dulu sebelum menjadi pemadam adalah seorang pelaut, sering pergi berbulan-bulan,” tuturnya. Khawatir akan meninggalkan keluarga dalam waktu lama, Leonard mengurungkan niatnya menjadi pelaut dan memantapkan pengabdian yang telah dirintis kakek dan ayahnya. Sepertinya jejak keluarga itu terus lestari karena ia berharap anak sematawayangnya yang lulusan SMA turut menapaki pekerjaan sebagai pemadam.

Salah satu yang membuat Leonard tetap nyaman sebagai pemadam adalah kesempatan libur dua hari setelah 24 jam piket jaga. Sejatinya bukan dua hari penuh libur yang ia dapat. Pada libur hari kedua ia wajib piket selama tiga jam. Ia menggunakan hari libur itu untuk lebih dekat dengan keluarganya. Bagi petugas lain, mungkin libur dua hari sangat berarti untuk mencari tambahan penghasilan di luar dinas.

Alasan menjadi pemadam bisa jadi berbeda untuk setiap petugas. Wahyudi, petugas dari Suku Dinas (Sudin) Jakarta Pusat punya alasan sendiri. Lelaki yang telah berkeluarga sejak tiga tahun yang lalu ini mempunyai pandangan bahwa pekerjaan termulia di dunia ini hanya ada tiga: guru, pemadam kebakaran, dan tukang pos.

Berangkat dari pemikiran itulah Wahyudi awalnya bercita-cita jadi guru. Setamat SMA ia melanjutkan ke UNJ Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan Bahasa Jerman. Namun, bahasa Jerman tak semudah yang ia bayangkan. Akibatnya tiga tahun berturut-turut indeks prestasinya di bawah cukup, sehingga ia dikeluarkan.

Suatu hari lowongan pemadam di harian ibu kota membulatkan impiannya untuk menjadi ksatria biru. Setelah serangkaian uji masuk dilalui, akhir 2004 ia sudah bertugas sebagai pasukan pemadam. Salah satu pekerjaan yang dianggapnya termulia itu sudah di bahu Wahyudi, menunggu darma menjaga ibukota.

Dinas pemadam dan masyarakat berupaya menghentikan kebocoran selang air dalam peristiwa kebakaran di permukiman padat di Jakarta Pusat. (Reynold Sumayku)

Teman satu kompi dan satu angkatan Wahyudi, Jemi Berahim (31), berprinsip bahwa modal sukarelawan itu adalah ketulusan. Namun, ia terus terang bahwa untuk hidup orang perlu bekerja untuk mendapatkan uang. Lelaki yang bertugas di mobil ambulans dan masih berstatus sukarelawan Palang Merah Indonesia (PMI) ini berkisah tentang sosok pemadam kebakaran yang menginspirasinya waktu bertugas bersama saat bencana kebakaran. “Pemadam dan sukarelawan PMI sama-sama bertugas atas dasar prinsip kemanusiaan dan ketulusan,” imbuh Jemi sambil menatap tajam. !break!

Ketika berstatus pegawai tidak tetap, Wahyudi dan Jemi mencoba menerima apa adanya makna kehidupan dan menjalani dengan ikhlas. Saat itu mereka mendapat gaji sekitar Rp925 ribu per bulan. Bagi pegawai tidak tetap, satu-dua bulan tidak menerima gaji mungkin adalah hal biasa. “Waktu masih honorer, saya sering telat  terima gaji, tunjangan telat. Kadang gaji Januari baru dibayarkan Maret,” kenang Wahyudi.

Sejak pertengahan tahun lalu Wahyudi dan Jemi telah diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Kesejahteraan pun jadi lebih baik karena ada penyesuaian tunjangan. Pegawai yang telah menikah dan berstatus CPNS berkesempatan bermukim di asrama. Selain dekat dengan tempat bertugas, tinggal di asrama yang diresmikan pembangunannya oleh Gubernur Ali Sadikin awal 1970-an ini dirasa lebih sejahtera. Kini tak kurang dari 327 kepala keluarga mendiami banjar-banjar asrama dinas pemadam Jakarta Pusat dengan bangunan rumah dua lantai seluas tujuh puluh meter persegi.

Ada aturan tak tertulis bagi calon penghuni asrama. Setiap keluarga yang bermaksud ingin menempati asrama harus memberikan uang sekitar Rp3-5 juta kepada pemilik yang akan meninggalkan asrama itu. ”Yah, itung-itung membantu mereka yang sudah pensiun,” tukas Wahyudi ikhlas.

Petugas pemadam kebakaran adalah pekerjaan unik. ”Orang lain bekerja menghindari bahaya, tapi pemadam justru bekerja menghadang bahaya”, kata Wahyudi. Pendapatnya bukan tanpa alasan. Setiap menjalani tugas, seorang pemadam bak bergadai nyawa sejak berada dalam perjalanan, risiko konflik dengan warga atau preman setempat, hingga pemadaman di lokasi kebakaran.

Sesampainya di lokasi kadang petugas disambut umpatan kekecewaan warga karena dianggap terlambat datang dan bekerja sangat lamban. Tak jarang petugas harus berhadapan dengan kepanikan warga yang cenderung brutal dan membahayakan jiwa petugas. ”Kalau pekerjaan berhasil tidak mendapat pujian, tetapi kalau pemadaman tidak berhasil dianggapnya kelalaian petugas, kurang cekatan, tidak bawa air,” ujar Widodo Ngadono (54) lelaki mantan pasukan pemadam yang kini menjadi polisi khusus pemadam.

Gatot Santoso (31) seorang pengemudi mobil pompa satuan Bantuan Operasional pernah dipaksa warga memasuki gang sempit. Awalnya lelaki mantan satpam ini menolak, namun seorang warga tiba-tiba mengancamnya dengan kalungan celurit. Gatot berat hati menyanggupi permintaan warga. Mobil pompa berhasil masuk ke permukiman meski rusak parah setelah menerobos gang sempit, melibas kandang ayam, dan merubuhkan gapura.

Karyawan perusahaan melihat aksi petugas pemadam kebakaran dalam simulasi penanggulangan bahaya kebakaran. Sosialisasi keamanan gedung menjadi bagian program Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana. (Editor)

Kepanikan warga ketika kebakaran memang bisa dimaklumi para petugas. Namun kadang warga yang panik tersebut mengganggu usaha pemadaman dengan cara merebut selang dari tangan petugas. Kadang terjadi pertikaian antarwarga sendiri karena saling berebutan selang. Mereka yang berebut adalah warga yang rumahnya belum terbakar. Akibatnya selang dengan tekanan delapan bar terlepas dan meliuk-liuk tak terkendali, malah menimbulkan bahaya baru.

Tak hanya itu, kejadian lain yang menguji samudra kesabaran para pemadam adalah seringnya panggilan bencana kebakaran palsu. Sepanjang tahun lalu, setidaknya 8 kasus panggilan palsu per bulan di DKI Jakarta telah membuat petugas kerepotan. Operator radio di pusat komando kini lebih teliti jika menerima berita panggilan kebakaran yang masuk dari nomor 113. Untuk memperoleh data kejadian kebakaran yang valid, para petugas operator selalu menanyakan dengan detail  nama pelapor, nomor telepon yang bisa dihubungi, lokasi kebakaran, dan pokok benda yang terbakar.

Setimpalkah apa yang mereka terima dari perlakuan warga dibanding dengan darma yang telah mereka tunaikan? Jawabnya, petugas tak pernah berpikir tentang balasannya. Mereka hanya menjawab panggilan kemanusiaan untuk menolong. Ketulusan sudah menjadi tekad mereka. Namun masih saja ada warga yang mengira untuk memanggil bantuan petugas pemadam dibutuhkan biaya. Sikap warga tersebut membuat hati sebagian petugas sedih dan mengelus dada.

Tentu saja tak semua warga Jakarta bertabiat beringas dan susah diatur. Masih banyak warga di belahan Jakarta lainnya yang bekerja membantu pemadam. Contohnya saat warga Jatibaru memberikan beberapa kardus air mineral untuk meredakan rasa haus para petugas. Wahyudi juga mengisahkan ketika ia dan pasukannya tengah duduk letih di pinggir jalan usai pemadamaman di daerah dekat Stasiun Tanah Abang. Tiba-tiba seorang perempuan sebayanya menghampiri sambil memberikan sebungkus ongol-ongol, jajanan khas betawi. “Seorang gadis cantik memberikan bungkusan sambil mengucapkan terima kasih kepada saya dan berlalu begitu saja,” kenang Wahyudi. “Di tengah cacian warga yang tak puas dengan kinerja pemadam kebakaran, masih ada saja orang yang peduli dengan kami,” ucapnya haru.

Selain api, masih ada lagi musuh bebuyutan para ksatria. Seperti kisah pemadaman tragis yang hampir merenggut nyawa Solihin (24) di pagi buta empat tahun lalu. Derasnya air pancaran nozzle merobohkan atap seng dan tepat jatuh mengenai badan Solihin. Seketika itu pula timbul percikan api. Lelaki malang itu tersengat listrik dan langsung tak sadarkan diri. Tubuhnya jatuh menjuntai di rawa. Untuk beberapa saat jantungnya tak berdenyut. Pencurian listrik di perkampungan itu adalah penyebab kecelakaan yang dialami Solihin. Ia koma selama dua hari dan dokter telah memvonis hidupnya tak bertahan lama, kalau pun hidup ia akan mengalami cacat.

Solihin bersyukur, kini ia sudah kembali hidup sehat seperti sediakala. Pengalaman itu tak menyurutkan niatnya untuk kembali bertugas menjadi pemadam. ”Jujur saja, saya lebih suka ditugaskan di pasukan pemadam, senang membantu sesama meski nyawa taruhannya,” ujar lelaki yang kini dipindahkan ke staf bidang sarana.

Nyaris tewas dalam darma membuat Solihin menjadi salah satu petugas yang cukup beruntung. Dalam sepuluh tahun terakhir ini sudah enam orang petugas gugur dalam tugas. Sebagian besar dari mereka gugur ketika proses pendinginan setelah kobaran api berhasil dikuasai.

Dua petugas pemadam kebakaran mengarahkan air ke api yang sudah membesar pada sebuah kebakaran di Kampung Tambora, Jakarta Barat. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Mata berkaca-kaca selalu tampak di wajah seorang ibu ketika memandangi lemari yang memajang perlengkapan dinas almarhum putra tersayang, Sulistiyo Putranto. Lemari kaca itu diletakkan di teras rumah supaya siapa saja bisa menyaksikan dan mengenang laga terakhir Uwis, panggilan akrab Sulistiyo. Di dalamnya terdapat lukisan wajah almarhum, buku, kliping koran yang memuat berita tentang tragedi almarhum, seperangkat kemeja dinas lapangan, baret, jaket oranye khas pemadam yang tahan panas, helm, sepasang sepatu bot dan sepatu karet pemadam yang terakhir dipakai Uwis.

Upacara pemakaman Uwis dihadiri handai taulan hingga pejabat pemerintah DKI Jakarta. Jenazahnya diberangkatkan usai upacara penghormatan arwah yang diiringi lolongan nelangsanya terompet dan derap snare drum Korps Musik Pemadam Kebakaran. Kelabunya langit Jakarta dan layunya bunga wijayakusuma siang itu mengiringi Sang Ksatria Biru ke peristirahatan terakhirnya lebih setahun lalu.  Mendiang Uwis adalah anak laki-laki satu-satunya buah kasih pasangan Titin Sunarsih (47) dan Soegeng Warsoredjo (59). ”Yang namanya anak memang ngga bisa dilupain”, kata Titin di tengah isaknya. Sampai saat ini, perempuan ini mencoba untuk ikhlas. Sejak kecil Uwis memang bercita-cita mengikuti jejak ayahnya. ”Waktu kecil, sering pakai sepatu dinas bapaknya, ingin jadi pemadam seperti bapaknya,” kenang Titin yang dibesarkan di asrama pemadam.

Lelaki yang dikenal pendiam, sopan, dan suka menolong itu gugur di usia 24 tahun ketika sebuah bangunan semipermanen berlantai tiga di sebuah perkambungan kumuh Tambora runtuh menimpanya. Ayahnya yang melihat kondisi Uwis di lokasi kejadian tak kuasa menahan tangis. ”Pelipis terbakar, kepala memar, dan helm belakang pecah,” kenang Soegeng sedih.

Saat gugur Uwis telah mengabdi lima tahun, atau tepat empat bulan sebelum pengangkatannya menjadi CPNS. Sebagai pemadam dengan status pegawai tidak tetap, Uwis tidak mendapatkan tunjangan risiko tinggi dan santunan kecelakaan bila gugur dalam darmanya. Beruntung, ayahnya telah melindungi semua anggota keluarga dengan asuransi jiwa yang dikelola perusahaan swasta.

Sebelum Uwis gugur, dialah tulang punggung keluarga. Kini untuk menjaga kepulan asap dapur, setiap Selasa dan Jumat dini hari Titin dan anak perempuannya berbelanja kue-kue di Pasar Kue Subuh Senen untuk konsumsi senam pagi pegawai dinas. ”Alhamdulillah mereka masih memercayakan kepada saya,” ucap syukur dari bibir Titin. Soegeng, ayah Uwis adalah pensiunan staf pemadam kebakaran. Karirnya berawal dari pasukan pemadam Sudin Jakarta Pusat pada 1972. Kini sehari-hari Soegeng bertugas sebagai pegawai kebersihan halaman Kantor Dinas Pemadam DKI Jakarta.

Latihan penyelamatan di pusat pelatihan dan laboratorium pemadam kebakaran yang terletak di kawasan Jakarta Timur. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Meski Soegeng sudah pensiun, ia dan keluarganya masih diizinkan Kepala Dinas untuk tetap tingal di asrama. Sejatinya asrama hanya diperuntukkan bagi mereka yang masih bekerja.

Banyak pihak yang bersimpati atas gugurnya putra mereka. Suatu hari keluarga Soegeng dikunjungi pasangan muda keturunan Tionghoa dan satu anak mereka yang masih TK. Keluarga muda itu menawarkan bantuan pengangkutan gratis jika keluarga Soegeng berencana pindah rumah. Tampaknya anak pasangan tersebut bersama teman-teman sekolahnya pernah berkunjung ke Kantor Dinas untuk mengenal mobil-mobil pemadam. ”Mungkin Uwis pernah mengajak anak mereka berkeliling dengan mobil unitnya”, tutur Titin sambil mengusap mata sembabnya.

Namun ada pula yang berikhlas hati memberi bantuan tanpa ingin disebut jati dirinya. Setiap bulan penderma misterius itu selalu memberikan bantuan keuangan kepada keluarga Soegeng. ”Pernah saya tanya dari siapa, dia tak mau menyebutkan nama pendermanya”,  pungkas Titin haru.

Kala kaki langit timur memerah, Samino (55) menawarkan teh panas dan sekerat roti penghalau kantuk kepada saya usai piket malam. Kami duduk di hamparan halaman depan kantor suku dinas yang masih basah lantaran hujan semalam. Dua orang petugas piket bersiap melangkah tegap untuk pengibaran bendera Merah Putih.

Empat bulan lagi Samino masuk masa pensiun. Cita-citanya selepas pensiun sangat bersahaja. Ayah tiga anak ini berencana pulang ke kampung halamannya di Wates, Jawa Tengah, untuk mengelola pertanian dan peternakan keluarga. Ia berharap hasil panen padi dua kali dalam setahun dan panen palawija kelak bisa menghidupi keluarganya. “Anak saya yang pertama sudah kerja, satunya baru lulus STM, nah yang ketiga ini baru masuk SD,” tutur Samino sambil menghirup uap teh panasnya.

Masa pensiun adalah suatu kepastian. Ada yang merasa masa itu datang terlalu cepat. Namun ada juga yang menyikapinya dengan optimis dan menata hati atas penghasilan yang lebih kecil.  Sutrisno (54) akan memasuki masa pensiun tahun depan. ”Saya menikmati pekerjaan ini dengan tulus, tanpa mengharapkan jabatan. Manis rasanya jika kita bisa bekerja dengan tulus”, ujar lelaki yang meniti karirnya sejak 1977. Ia percaya bahwa hasil dari ketulusannya dalam bekerja adalah kunci sukses mendidik anak dan mengantarkan mereka ke jenjang keluarga.

Kini Komandan pleton Kompi C ini menyadari usianya memang sudah cukup untuk istirahat. Kondisi raganya sudah rapuh, namun ia menyikapi apa adanya dengan rasa optimis. Sutrisno akan mengisi waktu pensiunnya dengan melanjutkan bisnis mobil di bawah harga enam puluh juta. Bisnis yang sudah dirintisnya sejak beberapa tahun lalu. ”Sampingan boleh-boleh aja asal tidak mengganggu dinas,” ujarnya sambil menyeringai.

Di akhir masa darmanya ini Sutrisno bersyukur kehidupannya jauh lebih baik. Kadang ia teringat keadaan sulit ketika masa awal menjadi pemadam. ”Saya selalu punguti ceceran beras dari truk gudang logistik, dikumpulkan, lalu dibersihkan untuk kita makan bersama,” pungkasnya sambil menunduk.

Saksofon yang ditiup Febri (kanan) mengalun di ruangan latihan korps musik dinas pemadam Jakarta. Jadwal latihan mereka tiga kali seminggu, selain berolahraga di hari-hari lainnya. Walaupun tugas utamanya bermain musik dan tampil dalam berbagai acara, mereka siap melawan api jika dibutuhkan saat terjadi bencana kebakaran. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Korps Musik Damkar adalah legenda yang hidup. Suatu kebanggaan bagi mereka yang berkarya di dalamnya. Sejarahnya, salah satu korps musik tertua di Indonesia ini adalah warisan Hindia Belanda. Delapan belas pemusik dalam ”Barisan Pemadam Kebakaran” inilah yang menyambut pesawat DC-3 yang membawa Soekarno dari Jogjakarta di Bandara Kemayoran akhir Desember 1949.  Selain bertugas mengiringi upacara-upacara di lingkungan pemerintah DKI Jakarta, korps ini didirikan untuk memberikan hiburan musik bagi anggota pemadam supaya kecintaannya kepada institusi ini tetap terjaga. Sebagai korps musik milik pemadam kebakaran, mereka juga harus siap apabila dibutuhkan tambahan bantuan untuk tugas pemadaman dan penyelamatan, seperti bantuan untuk kebakaran besar Pasar Tanah Abang selama tiga hari tiga malam beberapa tahun silam.

Suatu pagi derap “Mars Pemadam” membahana di gedung sudut asrama. Ruangan musik yang digunakan saat ini sebenarnya jauh dari kondisi memadai. Dinding-dindingnya tak berbalut peredam dan tak berjendela. Hanya dua pintu yang berfungsi sebagai penyalur suara dari ruangan bak kotak resonansi itu. Akibatnya saat mereka berlatih, pantulan suara alat musik yang mereka mainkan menjadi saling tindih. Korps musik selalu berlatih pada Senin, Rabu, dan Kamis setiap pukul sembilan hingga sebelas siang. “Dua lagu kadang sudah capek, apalagi pegang alat tiup seperti saya,” tutur Dwi Kristianto (34), pemain klarinet yang bergabung sejak empat tahun lalu.

Lembaga ini selalu kekurangan pemain sehingga Dwi dipindah dari pasukan pemadam ke korps musik. Ironisnya, meski Dwi telah menamatkan perguruan tinggi dengan gelar sarjana ekonomi, hanya ijazah SMP-nya yang diakui oleh dinas. ”Saya masih golongan satu di sini, harusnya sudah golongan tiga,” jelas lelaki yang tak mengerti kebijakan di kantornya itu.

Setiap pekerjaan selalu ada risikonya, demikian juga pemusik. Dwi dan beberapa teman pemain alat tiup mengalami gigi goyang. “Seperti saya ini nih,” ujar Dwi sambil menunjukkan tiga gigi serinya yang goyang. Dua temannya yang bermain saksofon alto dan klarinet juga menunjukkan tanda-tanda serupa. Pengaruh jangka panjang bermain alat musik tiup diduga telah memicu tekanan pada rongga mulut dan berdampak pada sistem gigi mereka. Sebagai petugas pemadam kebakaran dan penanggulangan bencana, apa pun perlakuan yang mereka terima, semangat untuk menjaga kota ini tetap tak pernah padam. Sekalipun mereka harus membayar dengan nyawa.

(Kisah ini pernah terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi April 2012)