Menguak Kebudayaan Praaksara Sulawesi Selatan yang Terlupakan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 20 Januari 2021 | 08:00 WIB
Lukisan cadas yang menampilkan figur babi lainnya di Leang Tedongnge. Lukisan ini belum diteliti pertanggalannya. (Adhi Agus Oktaviana/Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)

Tak berbeda dengan masyarakat Tana Toraja, sistem pemakaman masyarakat Bugis Makassar megalitik juga diperkirakan memiliki kesamaan. Salim menulis, kebiasaan ini dibuktikan dengan ditemukannya wadah kubur di Gua Passea, Bulukumba, yang memiliki motif yang sama dengan masyarakat Tana Toraja.

Ia juga menyebut bahwa, sistem itu juga mirip dengan kebudayaan megalitik Batak dan Vietnam.

Benda peninggalan Megalitik tersebar di beberapa tempat di Sulawesi Selatan, seperti di Bantaeng yang yang memiliki banyak situs. Temuan unik di Bantaeng terletak pada situs Pattalasang dan Killing, yakni terdapat patung terakota menyerupai manusia yang berbaring, duduk, dan berlutut.

Baca Juga: Tradisi Suku Bugis, Dua Pemuda Selesaikan Masalah dengan Badik dan Dikurung dalam Satu Sarung

Lewat buku Bantayan: An Early Makassarese Kingdom 1200-1600 AD karya Wayne Bougas menulis, corak megalit itu lazim dalam arca bergaya Polinesia dan Majapahit.

Temuan lainnya berciri khas megalit di negeri Butta Toa ini beragam, mulai dari menhir, dolmen, batu dakon, hingga altar batu (Pannurungang) yang dipercaya sebagai munculnya To Manurung. To Manurung sendiri merupakan sosok misterius menyatukan kakaraengan (kelompok masyarakat) hingga terbentunyknya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.

Kebudayaan dan penggunaan benda megalitik di Sulawesi Selatan juga masih lestari di kampung adat Kajang, Bulukumba. Mereka masih menggunakan batu temu gelang di bukit Sapo sebagai tempat musyawarah para Amma Toa [pemangku adat]. Susunannya yang melingkar, menurut Salim, sebagai filosofi konsep kosmologi.

Mereka juga masih menggunakan batu andesit bercorak monolit alami yang disebut Bongki sebagai batu pemujaan, dan Kadaha yang berfungsi sebagai upacara pelantikan Amma Toa di Kajang.

Baca Juga: Kapal Pinisi Buatan Bonto Bahari

Seiring berkembangnya zaman, masyarakat Sulawesi Selatan juga turut menyesuaikan dengan peradaban masa berikutnya, perundagian. Pada masa ini, menurut Agus Salim, masyarakat Sulawesi Selatan mengalami perkembangan pesat di bidang teknologi.

Dahulu, kapal pinisi tergantung pada kekuatan angin yang ditangkap oleh 7 layar yang menggerakkannya (Lutfi Fauziah)

"Penemuan perahu bercadik, memungkinkan orang dapat menyeberangi lautan luas," tulisnya.

Sekitar 3.000-2.000 SM saat logam mulai ditempa di peradaban Asia Tenggara lainnya, masyarakat Sulawesi Selatan turut serta mengembara dan berkontak budaya antar bangsa.

Salah satu peninggalan benda logam yang pernah didatangkan dari luar negeri adalah nekara perunggu tipe Heger 1. Benda ini juga ditemukan di Sumatra, Jawa, Sumbawa, Rote, Leti, Kai, dan Papua.

Pada tata kehidupan, masyarakat Sulawesi Selatan sudah teratur dalam perburuan hewan liar. Menurut Salim, di masa ini selain memanbah mata pencaharian, juga bertujuan untuk unjuk keberanian, ketangkasan, keterampilan, dan kegagahan dalam masyarakat setempat.

Perburuan tak lagi menggunakan mata panah yang mirip dengan peninggalan purba di Leang Jarie. Senjata berburu mereka dilakukan menggunakan tombak, panah dan jerat ang dibuat dari bambu atau rotan yang ujungnya dilingkarkan.

"Cara itu kemudian diteruskan pada masa tumbuhnya kerajaan-kerajaan Sulawesi, terutama oleh raja dan bangsawan-bangsawan muda," terangnya.