Migrasi dan Perdagangan, Riwayat Orang Tionghoa di Bumi Nusantara

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 26 Januari 2021 | 07:00 WIB
Kuli-Kuli Bangka keturunan Tionghoa di cucian bijih hancur pada tahun 1890. (KITLV)

Ketika memilih menetap pun, mereka tak lagi menganggap Tiongkok sebagai tanah air mereka, melainkan negeri yang ia tempati.

"Ini karena filosofi mereka ada pada penyebutan 'negara' sebagai Guó," ujarnya. "Makna dalam huruf Guó ini adalah terdiri dari empat huruf susunannya, yang jika digabungkan bermakna: kawasan di mana yang kita tempati, kita wajib menjaganya,"

"Jadi istilahnya sama dengan 'dimana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung', kurang lebih begitu."

Baca Juga: Bincang Redaksi: 280 Tahun Geger Pacinan, Singkap Arsip VOC dan Persekutuan Cina-Jawa 1740-1743

Dua gambar hitam dan putih peristiwa selama pembantaian. Di sebelah kiri, orang-orang Cina tampak membunuh tentara VOC sementara rumah terbakar di latar belakang. Di sebelah kanan, Belanda mengeksekusi orang-orang Cina yang menjadi tahanan di depan Balai Kota. (Atlas van Stolk)

Mirisnya, pemisahan antara etnis Tionghoa ini mulai ada sejak VOC memonopoli jalur perdagangan. Terutama saat peristiwa Geger Pacinan pada 1740, bermula akibat merosotnya nilai gula yang dimonopoli.

"Itu mereka umumnya keturunan dari Fujian yang pandai tebu. Mereka kekurangan pekerjaan. Saat itulah ada provokasi yang menjadi awal mula Geger Pacinan," jelasnya.

Peristiwa itu membuat koalisi orang Tionghoa bersama orang Jawa. Setelah momen itu, pemerintah VOC memontong hubungan mereka dengan membuat tempat khusus bagi etnis Tionghoa. Sistem pecinan adalah salah satunya, yang kemudian diberlakukan di beberapa kota di Hindia Belanda.

"Akibatnya jurang pemisah etnis inilah lahir di negeri kita. Politik devide et impera atau adu domba menyebabkan permasalahan kita hingga kini," pungkasnya.