Jejak Kelana Hikayat Romansa Panji Menantang Zaman Hingga ke Eropa

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 26 Januari 2021 | 08:00 WIB
Lukisan Bali yang menggambarkan Pangeran Panji bertemu tiga perempuan di hutan. (Koleksi Tropenmuseum)

Nationalgeographic.co.id—"Ketika saya datang ke Gunung Penanggungan, dan mengunjungi Candi Kendalisodo pada 1996 bersama beberapa teman dari Universitas Leiden dan Yogya, saya langsung terpesona sekali dengan relief di sana," kenang Lydia Kieven, sejarawan berkebangsaan Jerman.

Demi memahami relief dan kebudayaan Jawa, khususnya bahasa Jawa kuno, ia sempat berguru kepada Ki Padmo Puspito di Yogyakarta. Ketika gurunya melihat fotonya di relief, ia berpesan kepadanya: "Lydia, nanti kapan-kapan kamu bercerita dan meneliti tentang Panji, ya."

"Saya tak mengerti apa maksudnya," papar Lydia dalam webinar Kelana Panji di Eropa yang diadakan Pusat Konservasi Budaya Panji. "Tetapi ketika saya melihat relief, dari situlah dimulai."

Sejak itulah, ia mulai tertarik menggali cerita Panji, hingga menerbitkan Menelusuri Panji & Sekartaji sebagai hasil penelitiannya pada 2013.

Baca Juga: Misteri Panji di Candi Penataran

Tak hanya melakukan penelitian, Lydia juga memperkenalkan Panji di Eropa melalui ceramah-ceramahnya di Eropa sejak 1996 hingga kini. Bahkan demi memperkenalkan kebudayaan Panji, ia  mengadakan pertunjukkan bersama budayawan asal Klaten, Agus Bima Prayitna. Pertunjukkan untuk memperkenalkan dan mempertahankan kesenian itu diadakan di Jerman dan Belanda, bahkan digandrungi anak-anak dan remaja.

Usaha memperkenalkan kisah Panji sebenarnya tak hanya dilakukan di masa kini saja. Eksistensi Panji di benua biru mulai dikenal sejak pengelanaan bangsa Eropa ke Nusantara.

"Panji cukup terkenal di Eropa, khususnya di kalangan akademis dan pustakawan," ungkap Roger Tol dari University of Leiden dalam webinar itu.

Cerita Panji pertama kali disebutkan dalam naskah yang ditemukan seorang pejabat Prancis yang berkunjung ke Nusantara, Isaak de St Martin di akhir abad ke-17. Naskah hikayat yang ditemukan olehnya adalah Carang Kulina.

Baca Juga: Mengapa Negara Diklasifikasi Sebagai Dunia Pertama, Kedua, dan Ketiga?

Tol menyebut di waktu yang hampir bersamaan dengan Isaac, Francois Valentyn berkunjung ke Nusantara kemudian menulis Ambonsche Zaaken (Hal-ihwal Ambon). Pada tulisannya itu ia mencantumkan manuskrip Melayu yang didapatinya di Batavia berjudul Kuripan.

Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles juga berperan dalam memperkenalkan kesenian ini. Melalui History of Java, ia menyebutkan dengan detail mengenai cerita Panji.

Naskah cerita Panji berjudul Panji Ngron Akung yang memiliki bentuk simbol cinta seperti yang kita kenal saat ini. Naskah ini berasal dari Gresik pada 1823. (Leiden University)

"Panji yang menjadi tokoh termasyhur dalam cerita Jawa. Petulangan Panji telah dimuat dalam banyak cerita [...] yang merupakan bagian penting dari sastra halu dan juga seni rakyat di Jawa," demikian Tol mengutip apa yang ditulis Raffles

Pengenalan Panji dari sisi antropologi dan lebih mendalam baru dipublikasikan oleh W.H. Rassers pada 1922, kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris pada 1973 oleh J.J. Ras. Rujukan Rassers dan Ras telah mengundang penelitian lebih lanjut dari beberapa ilmu lainnya, seperti disertasi Following the Cap-Figure in Majapahit Temple Reliefs karya Lydia Kieven.

Baca Juga: Menguak Kebudayaan Praaksara Sulawesi Selatan yang Terlupakan

Naskah Panji yang dikumpulkan di Belanda setidaknya berjumlah 260 manuskrip, yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Koleksi itu terdiri atas delapan bahasa seperti, Jawa-Bali, Jawa, Melayu, Bali, Sasak, Sunda, Aceh, dan Bugis. Mayoritas, ditulis di atas daun lontar dan kulit pohon (daluang).

"Sebagian besar, tentu dari Pulau Jawa dan Bali," ungkapnya. "Naskah ini ditulis 1830 sebetulnya salinan dari naskah milik Perpustakaan keraton Surakata. Mestinya di sana juga masih ada."

Salah satu yang unik adalah naskah Panji Angronkung yang ditulis 1823. Tak hanya mengisahkan romansa yang cukup emosional, kisah ini ditulis di daluang atau kertas yang terbuat dari kulit pohon yang ditumbuk. Naskah ini pun berbentuk simbol cinta—layaknya pola hati seperti yang kita kenal sekarang.

Pada masa kejayaannya saat Majapahit berkuasa, kebudayaan Panji tersebar ke seantero Nusantara. Berawal dari Pulau Jawa, hingga ke Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Berawal dari relief yang tersisa kemudian mulai ditulis di atas kertas dalam berbagai bahasa.

Secara keseluruhan, kisah-kisah panji merupakan romansa antara Raden Panji Asmarabangun dari Kerajaan Jenggala dengan Dewi Sekartaji dari Kerajaan Panjalu (Kadiri). Kisahnya diadaptasi pada sejumlah kisah seperti kakawin Asmaradhana, Ande-Ande Lumut, Keong Mas, dan Golek Kencana.

Kelestariannya dalam arsip pun, hikayat Panji tak hanya tersimpan di Indonesia dan Belanda, tetapi cerita ini juga tersimpan di pustaka Malaysia dan Thailand. Keberdaannya yang menyebar di belahan mancanegara ini kemudian dianugerahi UNESCO sebagai Memory of the World (MOW) pada 31 Desember 2017.

Berkat sandangan tersebut, menambah deretan koleksi penganugerahan MOW lainnya seperti, I La Galigo, naskah Babad Diponegoro, Negarakertagama, arsip-arsip VOC, dan arsip Konferensi Asia-Afrika.

Panji merupakan kisah sejati dari Tanah Jawa, yang cerita-ceritanya memiliki pesan moral yang hendak diwarisakan leluhur kepada kita: antikekerasan dan akhir kisah kehidupan yang menyenangkan.