Ancaman Virus Nipah Akibat Rusaknya Habitat Kelelawar di Asia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 27 Januari 2021 | 17:32 WIB
Ilustrasi Virus (Zika Zakiya)

Nationalgeographic.co.id—Per Selasa, 26 Januari 2021, orang yang terinfeksi Covid-19 di Indonesia tembus satu juta kasus. Indonesia menjadi negara pertama yang menyentuh angka itu di Asia Tenggara. Tetapi sesaat pagebluk Covid-19 belum berhenti, virus nipah menjadi ancaman baru untuk sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia.

Menurut rilis WHO, virus Nipah (NiV) bersifat zoonosis yang dapat menyerang hewan dan manusia. Inang utamanya berasal dari kelelawar pemakan buah-buahan dari famili Pteropodidae, membuat virus ini memiliki kemiripan asal dengan Covid-19.

Pada Mei 2018, WHO memperkirakan tingkat kematian dari virus itu bisa berkisar 40% hingga 75%. Temuan mereka juga menunjukkan bahwa nipah berpotensi menjadi pagebluk mematikan. Organisasi Kesehatan Dunia itu mengategorikannya sebagai prioritas penelitian.

Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Tentang Virus Nipah yang Sedang Mewabah di India

Virus Nipah pertama kali dikenal pada 1998 di Kampung Sungai Nipah, Malaysia dam menewaskan 105 orang. Para peneliti menyebut babi sebagai inang perantara, sehingga otoritas mengontrol penyebarannya dengan membunuh 1,1 juta ekor babi.

Jika dirunut dari inang utamanya, para peneliti dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences Volume 282, terbitJanuari 2015, memperkirakan virus ini timbul akibat kebakaran hutan dan kekeringan sehingga membuat kelelawar keluar dari habitat aslinya.

Asia memiliki jumlah penyakit menular yang tinggi, sebab keanekragaman hayatinya dapat menjadi sarang bagi sejumlah patogen yang berkait dengan kemunculan virus baru. Benua Asia, terutama di Indonesia, menampung hampir 15 persen hutan tropis dunia, tetapi sebagian terancam terkena deforestasi.

Para peneliti dalam jurnal Nature berpendapat, rusaknya keanekaragaman hayati ini disebabkan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, pemukiman, dan peternakan. Sehingga dapat menimbulkan penularan virus ke manusia.

Sejumlah ilmuwan gabungan Kamboja, Singapura, dan Thailand, meneliti selama empat tahun sejak 2013 di Provinsi Kandal, Kamboja. Mereka memublikasikan laporannya di Bull World Health Organ pada 2020.

Baca Juga: Semakin Sering Manusia Menebang Hutan, Semakin Besar Risiko Munculnya Penyakit Baru

Lewat laporannya, mereka mengidentifikasi adanya virus Nipah pada kelelawar di sana dan dapat menular kepada manusia. Penularan ini bisa megancam akibat mutasi, dan penularan bisa terjadi dari kotoran dan urin kelelawar yang bertengger di pepohonan. Tentunya, virus ini bisa menyebar jika habitat kelelawar itu hilang seiring dengan migrasinya.

Mereka juga mengawasi sejumlah kawasan di India dan Bangladesh yang sebelumnya pernah mengonfirmasi temuan virus. Para peneliti menduga paparan virus terjadi akibat kebiasaan warga mengonsumsi jus kurma yang sarinya biasa dihisap oleh kelelawar.

Namun yang mengherankan bagi mereka, meski temuan itu ada di Kamboja, tetapi negara itu belum mengalami pagebluk virus Nipah. Kondisi ini menjadi teka-teki para ilmuwan untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai jangka waktu mutasi sehingga dapat menyerang manusia.

Sampai saat ini belum ada laporan temuan kasus virus Nipah di Indonesia. Tetapi demi mengantisipasi adanya penyebaran, Kementerian Kesehatan Indonesia menghimbau agar setiap elemen tetap waspada.

Baca Juga: Virus Langka yang Belum Bisa Disembuhkan Tewaskan Sembilan Warga India

"Indonesia harus selalu waspada terhadap potensi penularan virus nipah dari hewan ternak babi di Malaysia melalui kelelawar pemakan buah," imbau Didik Budijanto, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes RI, dilansir dari CNN Indonesia.

"Karena dari beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya kelelawar buah bergerak secara teratur dari Semenanjung Malaysia ke Pulau Sumatra, khususnya Sumatra Utara yang dekat dengan Malaysia," imbaunya.

Menurutnya, pengawasan juga perlu diadakan pada perdagangan babi impor ilegal yang menjadi peluang penyebaran awal virus Nipah.

Selaras dengan keterangan Didik, para ilmuwan dari Amerika Serikat mengimbau agar otoritas dunia—khususnya di Asia Tenggara dan Afrika Tengah—untuk menekan tindak perburuan dan perdagangan satwa ilegal yang memicu pagebluk. Langkah ini lebih baik daripada harus membasmi satwa sumber virus yang menyebabkan tidak seimbangnya ekosistem, dan dapat berdampak kembali pada manusia.

Indonesia memiliki banyak jenis kelelawar, yang menjadi sumber awal penyebaran virus. Kelelawar diburu secara ilegal dan didagangkan secara masif, terutama di Pulau Sulawesi, sebagaimana yang dipaparkan oleh Joko Pamungkas, Peneliti Senior Pusat Studi Satwa Primata IPB pada 12 Februari 2020.