Nationalgeographic.co.id—Kita mengenal Minke dan Annelies dalam Bumi Manusia karya Pramoedua Ananta Toer. Atau, Siti Nurbaya dan Samsul Bahri dalam kisah Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Kedua pasangan itu memiliki kisah pilu dan akhir yang tragis. Pola yang sama juga terdapat pada sastra kuno Eropa yang jarang menawarkan kebahagiaan pada akhir setiap cerita cintanya.
Apabila Anda mencari kisah romansa yang memiliki sarat makna, namun berakhir dengan kisah perjuangan cinta nan bahagia, tengoklah cerita Panji. Kisah cinta dalam tradisi Panji bermuara pada akhir yang bahagia.
"Semuanya tragedi," ungkap Henri Nurcahyo sebagai budayawan Panji saat dihubungi National Geographic Indonesia. "Kalau [cerita] Panji selalu happy ending pada perkawinan."
Cerita ini Panji begitu populer terutama pada masa kejayaan Majapahit, terekam di berbagai relief kuno candi hingga ragam versi naskahnya yang ditemukan di penjuru Asia Tenggara. Bahkan keragaman naskahnya ini membuatnya mendapat pengakuan UNESCO pada Oktober 2017.
Baca Juga: Jejak Kelana Hikayat Romansa Panji Menantang Zaman Hingga ke Eropa
Kisahnya tentang sosok Panji dari Jenggala yang berusaha bertemu dengan cinta sejatinya, Sekartaji dari Kadiri. Kisah ini juga menjadi sumber inspirasi sastra populer di Malaysia, Thailand, hingga Filipina. Tokoh-tokohnya pun memiliki beragam nama, gelar, dan kisah yang setema.
"Kalau ditanya soal orisinil [versi] yang mana, semua orisinil," jelas Henri. "Itu enggak ada satupun yang asli lalu diduplikat, cuma versi itu beda-beda lalu berkembang di daerah-daerah kemudian beradaptasi menyatu dengan budaya setempat."
"Hingga akhirnya, di negara-negara masa itu, menyebut versi mereka masing-masing dan menjadi memori kolektif rakyat yang merindukan penyatuan Jenggala."
Ada banyak pesan filosofis yang tersirat maknanya pada kisah Panji yang perlu dipetik banyak orang. Pada unsur percintaan, kisah Panji Asmarabangun berpesan bahwa cinta yang tulus untuk pujaan hati harus memiliki ketabahan hati dalam hadapi rintangan yang mengganggu.
Kisah Ande Ande Lumut (nama lain Panji) juga berkisah tentang dirinya yang menolak lamaran Kleting Abang, Kleting Biru, dan Kleting Ijo, yang cantik. Ia bahkan lebih memilih melabuhkan hatinya pada Klenting Kuning yang dikutuk jadi buruk rupa.