Di Balik Cerita Cinta dalam Tradisi Panji yang Selalu Berakhir Bahagia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 31 Januari 2021 | 20:19 WIB
Lukisan Bali yang menggambarkan Pangeran Panji bertemu tiga perempuan di hutan. (Koleksi Tropenmuseum)

Nationalgeographic.co.id—Kita mengenal Minke dan Annelies dalam Bumi Manusia karya Pramoedua Ananta Toer. Atau, Siti Nurbaya dan Samsul Bahri dalam kisah Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Kedua pasangan itu memiliki kisah pilu dan akhir yang tragis. Pola yang sama juga terdapat pada sastra kuno Eropa yang jarang menawarkan kebahagiaan pada akhir setiap cerita cintanya.

Apabila Anda mencari kisah romansa yang memiliki sarat makna, namun berakhir dengan kisah perjuangan cinta nan bahagia, tengoklah cerita Panji. Kisah cinta dalam tradisi Panji bermuara pada akhir yang bahagia.

"Semuanya tragedi," ungkap Henri Nurcahyo sebagai budayawan Panji saat dihubungi National Geographic Indonesia. "Kalau [cerita] Panji selalu happy ending pada perkawinan."

Cerita ini Panji begitu populer terutama pada masa kejayaan Majapahit, terekam di berbagai relief kuno candi hingga ragam versi naskahnya yang ditemukan di penjuru Asia Tenggara. Bahkan keragaman naskahnya ini membuatnya mendapat pengakuan UNESCO pada Oktober 2017.

Baca Juga: Jejak Kelana Hikayat Romansa Panji Menantang Zaman Hingga ke Eropa

Kisahnya tentang sosok Panji dari Jenggala yang berusaha bertemu dengan cinta sejatinya, Sekartaji dari Kadiri. Kisah ini juga menjadi sumber inspirasi sastra populer di Malaysia, Thailand, hingga Filipina. Tokoh-tokohnya pun memiliki beragam nama, gelar, dan kisah yang setema.

"Kalau ditanya soal orisinil [versi] yang mana, semua orisinil," jelas Henri. "Itu enggak ada satupun yang asli lalu diduplikat, cuma versi itu beda-beda lalu berkembang di daerah-daerah kemudian beradaptasi menyatu dengan budaya setempat."

"Hingga akhirnya, di negara-negara masa itu, menyebut versi mereka masing-masing dan menjadi memori kolektif rakyat yang merindukan penyatuan Jenggala."

Ada banyak pesan filosofis yang tersirat maknanya pada kisah Panji yang perlu dipetik banyak orang. Pada unsur percintaan, kisah Panji Asmarabangun berpesan bahwa cinta yang tulus untuk pujaan hati harus memiliki ketabahan hati dalam hadapi rintangan yang mengganggu. 

Kisah Ande Ande Lumut (nama lain Panji) juga berkisah tentang dirinya yang menolak lamaran Kleting Abang, Kleting Biru, dan Kleting Ijo, yang cantik. Ia bahkan lebih memilih melabuhkan hatinya pada Klenting Kuning yang dikutuk jadi buruk rupa.

Baca Juga: Memelihara Topeng Panji, Kejayaan yang Sekarang Hampir Hilang

Selaras dengan Ande Ande Lumut, Golek Kencana berkisah tentang usaha Raden Inu Kertapati membuat dua boneka untuk menghibur pujaan hatinya, Candra Kirana, yang sedih akibat ibunya yang dibunuh ayahanda. Salah satu boneka itu terbuat dari emas yang dibungkus dengan kain jelek, dan boneka perak yang dibungkus kain sutera.

Penyampaiannya pada Candra Kirana di Daha (Kadiri) tak berjalan mulus, sebab bonekanya diambil oleh Paduka Liku, ayah Candra Kirana. Boneka yang diambilnya adalah terbungkus kain sutera, sedang Candra Kirana ikhlas mengambil kain yang jelek. Hingga akhirnya, Candra Kirana takjub dengan keindahan boneka emas yang tak pernah dilihat sebelumnya.

Kedua kisah itu berpesan moral, bahwa untuk mencari cinta sejati harus mencari kebenaran di antara berbagai kepalsuan yang rumit dan gamblang. Kemampuannya memilih Klenting Kuning juga berkat pengorbanannya melalu semedi.

Madukara mengambil daun Nawang Rum, ia membawa surat cinta untuk Panji. (Leiden University Libraries Digital Collections)

"Maka pesan moralnya untuk mendapatkan cinta, harus dekatkan diri dulu pada Tuhan Yang Maha Cinta, baru mencintai," ujar Eka Budianta sebagai budayawan Panji dalam webinar Relevansi dan Aktualisasi Budaya Panji yang digelar Pusat Konservasi Budaya Panji.

Inti pesannya juga megajarkan untuk melihat segalanya tak melihat dari sisi luarnya, tapi perlu mengetahui sudut pandang. Eka berpesan, bahwa pandangan ini perlu diaplikasikan dalam kehidupan, percintaan, dan sebagai penguasa. "Dalam pacaran itu ada etikanya, yang mana kita perlu menghargai perempuan dan komitmen itu sendiri," Eka berpendapat.

Kisah cinta dalam cerita Panji selalu berakhir pada pernikahan. Secara filosfis, Henri beranggapan kisah ini merupakan penggambaran bahwa pernikahan merupakan "awal dari sebuah akhir, dan akhir dari sebuah awal".

Baca Juga: Misteri Panji di Candi Penataran

Ki Pono Wiguno sedang membuat topeng tokoh Prabu Klono di kediamannya di Desa Diru Bantul, Yogyakarta. Dia seniman yang membuat topeng lakon khas Panji sejak 1971. Berawal dari kesenangannya mengikuti kakeknya bernama Ki Warso Waskito, keahlian membuat topeng diwariskan kepada Pono. Misinya begitu bersahaja tetapi mulia, yakni melestarikan topeng tradisional Jawa. Prabu Klono dikisahkan dalam lakon Panji, sebuah cerita yang sohor sebelum zaman Majapahit. Kisah ini terekam di berbagai relief candi hingga ragam versi naskahnya yang ditemukan di penjuru Asia Tenggara. Bahkan keragaman naskahnya ini membuatnya mendapat pengakuan UNESCO pada Oktober 2017. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

"Filosofinya sama dengan mengapa kalau kita melihat orang menikah, kita mengucapkan 'selamat menempuh hidup baru. Itu berarti ada kehidupan baru setelah menikah. Dia punya rumah sendiri dan perlu merancang kisahnya yang baru," terangnya.

Henri menambahkan, pesan kisah ini tak hanya pada percintaan saja melainkan segala lini kehidupan. Seperti alasan mengapa cerita Panji diwarnai dengan penyamaran, yang sejatinya memiliki pesan agar tidak membeda-bedakan status sosial, sekalipun dirinya adalah bangsawan.

"Itu diekspresikan dalam topeng (pada seni peran), sarana menyamar. Itu karena salah satu moral cerita panji supaya kita tidak membedakan orang berdasarkan status sosial berdasarkan pekerjaan, tapi kita ini sebenarnya sederajat." terangnya.

Eka pun berpesan agar kisah cinta Panji ini dijiwai pada penguasa. Karena tokoh ini berjiwa kestaria, tidak takut dengan kesulitan, berdiri bersama rakyat yang lemah, dialogis, dan mau mendengarkan atau egaliter.

"Kisah ini juga menjadikan perempuan bisa memimpin, dan pendamping yang juga menasihati. Tak selalu kita harus menutup kuping," ujarnya. "Panji punya mentalias menang tanpa harus merendahkan, kaya tanpa mengumpulkan harta, maju tanpa mengeroyok."