Avin mengungkapkan, kedua motif yang dijabarkan Bologne itu bisa saling berkaitan. Jika kebutuhan pribadi seseorang demi diterima di lingkungan lembaga akan memudahkannya untuk turut larut. Akibatnya, apabila individu itu dapat bekerja selayaknya sistem yang sudah ada, terdapat rasa kebanggaan sebagai pengabdiannya.
Peleburan individu pada lembaga dilakukan dengan cara mempelajari lingkungan dan mengambil nilai yang berlaku. Jika individu itu berintegrasi moral rendah, ia akan terombang-ambing saat menemukan kebenaran.
Baca Juga: Sumbangan Sains dari Pelukis-pelukis Cina pada Zaman Kompeni
“Meskipun tahu apa yang benar dan salah, ia tidak memiliki ketangguhan personal untuk melawan atau menolak tekanan sosial untuk korupsi atau keinginan dari dalam diri untuk korupsi," tulisnya, "karena kepentingan-kepentingan tertentu.”
Temuan lainnya dalam observasi, para narapaidana mengaku kerap diminta sejumlah dana oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dalih agar perkara tak diangkat ke persidangan. Apabila menolak memenuhi, dampaknya akan menambah durasi hukuman mereka.
Secara psikologis para narapidana yang berkorupsi mendapat pelajaran begitu banyak dalam bui. Pertama, mereka dapat mengendalikan diri agar tidak terlalu larut dalam masalah, sehingga mengambil hikmahnya. Kedua, mereka dapat mengembangkan dirinya secara spiritual. Penahanan itu membuat mereka berpendapat, “menerima hukuman di dunia lebih baik dari pada di akhirat.”
Para narapidana mengakui dan menyesali tindakannya, dan semestinya menjadi pelajaran bagi calon koruptor di luar sana. Imbas dari perlakuannya berbuah tekanan psikis, seperti kehilangan kepercayaan diri, arahan, dan malu. Mereka pun takut diusir dari keluarga atau diceraikan pasangannya. Tindakan korupsi akan menjadi beban bagi lembaga dan keluarganya, akibat menanggung malu dari pandangan masyarakat.
Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara