Nationalgeographic.co.id— Meski pemberantasan korupsi oleh KPK masih berlangsung, tindak korupsi masih saja berkecamuk di Indonesia. Alhasil, Indonesia menjadi negara terkorup ketiga di Asia, menurut laporan terakhir Global Corruption Barometer-Asia yang dipublikasikan Transparency International, November 2020.
Menurut Oktovianus Lawalatta, Fakultas Hukum Universitas Pattimura, korupsi telah menjadi parasit yang mengakibatkan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan, sampai buruknya pelayanan publik. Melalui tulisannya, "Kompilasi Pemikiran Tentang Dinamika Hukum dalam Masyarakat" yang terbit dalam kumpulan esai Psikologi untuk Indonesia Maju dan Beretika, tindakan itu juga membuat masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan menderita.
Korupsi tidak hanya dilakukan secara individu, tetapi juga dilakukan secara sistematis untuk mempertahankan hidup suatu lembaga—terlebih kalangan elite politik. Sejumlah penelitian psikologi mengamati bagaimana lingkungan mempengaruhi seseorang terjerat lumpur korupsi.
Baca Juga: Koran Bataviasche Nouvelles, Upaya VOC Hilangkan Citra Korupsi
Psikolog dari Universitas Muhammadiyah Aceh, Winda Putri Diah Restya dan rekannya, melakukan penelitian dengan wawancara dengan sejumlah narapidana korupsi. Mereka menulis dalam laporannya, Corrupt Behavior in a Psychological Perspective yang dipublikasikan di Asia Pacific Fraud.
Dalam temuan mereka, para narapidana mengakui korupsi bukanlah tindakan individual, melainkan melibatkan orang lain yang biasanya memiliki jabatan lebih tinggi.
“Namun, dalam persidangan, tidak ada satupun dari mereka yang berani menyebutkan pihak lain yang juga terlibat,” tulisnya. “Subjek dalam penelitian ini menyatakan bahwa kasus dugaan korupsi sebenarnya adalah penipuan yang dilakukan oleh pihak lain, tetapi mereka diminta untuk bertanggung jawab.”
Mereka berpendapat bahwa narapidana pada dasarnya adalah golongan yang secara hukum lemah, dan menjadi ‘tumbal’. Situasi inilah yang membuat mereka sulit mengumpulkan bukti, dan berkas yang dibutuhkan untuk dapat meringankan hukuman dan membela diri.
Jack Bologne, pemerhati korupsi Amerika Serikat, menulis The Accountant Handbook of Fraud and Commercial Crime pada 1993. Ia menjabarkan, secara umum peluang dan kebutuhan adalah motif utama korupsi.
Baca Juga: Mengapa Tidak Ada yang Terkejut Bila Politisi Terlibat Skandal?
Peluang berkaitan dengan keadaan, organisasi, dan lembaga yang dikelola sembrono, sehingga dapat memungkinkan orang berkorupsi. Sementara itu motif kebutuhan, berkaitan dengan faktor yang dibutuhkan individu untuk menghidupi dirinya.
Psikolog Universitas Gadjah Mada, Avin Fadilla Helmi dan rekannya, menulis Dinamika Psikologis Perilaku Korupsi yang terbit di jurnal Psikologi untuk Indonesia Maju dan Beretika.. Korupsi terjadi karena merupakan tindak kejahatan yang menular. Dalam lembaga yang korup, setiap transaksi sosial akan ikut korup pula meski individu itu awalnya orang yang baik.
Avin mengungkapkan, kedua motif yang dijabarkan Bologne itu bisa saling berkaitan. Jika kebutuhan pribadi seseorang demi diterima di lingkungan lembaga akan memudahkannya untuk turut larut. Akibatnya, apabila individu itu dapat bekerja selayaknya sistem yang sudah ada, terdapat rasa kebanggaan sebagai pengabdiannya.
Peleburan individu pada lembaga dilakukan dengan cara mempelajari lingkungan dan mengambil nilai yang berlaku. Jika individu itu berintegrasi moral rendah, ia akan terombang-ambing saat menemukan kebenaran.
Baca Juga: Sumbangan Sains dari Pelukis-pelukis Cina pada Zaman Kompeni
“Meskipun tahu apa yang benar dan salah, ia tidak memiliki ketangguhan personal untuk melawan atau menolak tekanan sosial untuk korupsi atau keinginan dari dalam diri untuk korupsi," tulisnya, "karena kepentingan-kepentingan tertentu.”
Temuan lainnya dalam observasi, para narapaidana mengaku kerap diminta sejumlah dana oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dalih agar perkara tak diangkat ke persidangan. Apabila menolak memenuhi, dampaknya akan menambah durasi hukuman mereka.
Secara psikologis para narapidana yang berkorupsi mendapat pelajaran begitu banyak dalam bui. Pertama, mereka dapat mengendalikan diri agar tidak terlalu larut dalam masalah, sehingga mengambil hikmahnya. Kedua, mereka dapat mengembangkan dirinya secara spiritual. Penahanan itu membuat mereka berpendapat, “menerima hukuman di dunia lebih baik dari pada di akhirat.”
Para narapidana mengakui dan menyesali tindakannya, dan semestinya menjadi pelajaran bagi calon koruptor di luar sana. Imbas dari perlakuannya berbuah tekanan psikis, seperti kehilangan kepercayaan diri, arahan, dan malu. Mereka pun takut diusir dari keluarga atau diceraikan pasangannya. Tindakan korupsi akan menjadi beban bagi lembaga dan keluarganya, akibat menanggung malu dari pandangan masyarakat.
Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara