Ketika Orang Arab dan Tionghoa Membuat Resah Pemerintah Kolonial

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 8 Februari 2021 | 11:39 WIB
Pemandangan gerbang Klenteng Jin De Yuan yang berlatar observatorium milik J. M. Mohr di kawasan Glodok, Batavia. Karya lukis Johannes Rach, sekitar 1768-1775. (Johannes Rach/Perpustakaan Nasional RI)

Nationalgeographic.co.id - Sejak diketoknya UU Regerings Reglement pada 1854, masyarakat di Hindia Belanda menjadi terbagi antara golongan Eropa dan Jepang, Timur Jauh, dan bumiputra. Penggolongan ini pada dasarnya bertujuan untuk menata penduduk lebih baik, tetapi justru menjadi sistem diskriminasi antar etnis di bawah Pax Neerlandica.

Kalangan Timur Jauh, menurut UU tersebut bukanlah etnis asli Nusantara seperti Arab dan Tionghoa. Kedatangan mereka sebenarnya sudah ada sejak periode sebelum penjajahan Eropa untuk berdagang, mencari kehidupan baru, diplomasi politik, dan syiar agama. 

Di masa kolonialisme, orang Arab mayoritas berasal dari Hadhramaut (kini Yaman) dan Hejaz, sedangkan mayoritas Tionghoa dari Fujian. Di mata pemerintah lewat UU itu, mereka berperan untuk membantu perekonomian, dan mengontrol golongan yang berstrata lebih rendah, bumiputra.

Golongan Timur Jauh ini kemudian disekat-sekat oleh pemerintah kolonial agar tak mengacau sistem pemerintahan yang sudah ada. Jika tidak ada sekat, pemerintah Belanda khawatir akan adanya koalisi antar etnis yang menentang mereka. Tak heran bila kemudian muncul tempat khusus, seperti Kampung Arab dan Pecinan.

Baca Juga: Pax Nederlandica: Kuasa Politik Apartheid Zaman Hindia Belanda

“Untuk keluar dari kawasannya sendiri, mereka harus punya surat jalan resmi,” terang sejarawan Didi Kwartanada dalam Kelas Sejarah dan Budaya Tionghoa, webinar dari Merdeka Belajar.

Padahal sebelumnya mereka memiliki hak yang setara hingga dapat terjun di dunia politik. Sebagaimana yang disebutkan oleh Heriyanti Ongkodharma Untoro lewat tesisnya, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684, yang memberikan berbagai jabatan di Kesultanan Banten.

Di bawah kuasa Belanda, keturunan Arab-Hadhrami, dalam Mencari Identitas, Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950) karya Huub de Jonge, posisi mereka tak sampai pada bidang politik. Mereka mendapat tempat sebagai peminjam uang—seperti kalangan Tionghoa juga—dan membantu permaslahatan agama, seperti mengurus haji.

Posisinya sebagai golongan masyarakat kelas dua menjadikan mereka rentan akan serangan. Misalnya ketika mereka menjadi pemberi hutang kerap kali dicap buruk sebagai lintah darat, dan tukang riba dengan dalih agama. Pemerintah koloni juga berprasangka, kehadiran mereka akan membawa Pan Islamisme yang akan merusak tatanan.

Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa menulis keberadaan orang Tionghoa sangat berperan bagi perekonomian. Baik pemerintah Hindia Belanda maupun kesultanan—di pulau Jawa—memposisikan mereka sebagai penarik pajak, dan pedagang yang lihai.

Senasib dengan orang Arab-Hadhrami, orang Tionghoa juga dianggap sebagai lintah darat. Mereka juga kerap memeras pajak dan hutang kepada masyarakat golongan lainnya yang menimbulkan kebencian. Kebencian terhadap mereka bermuara pada Perang Jawa (1825-1830).

Baca Juga: Carl Bock, Peneliti Eropa Pertama yang Menepis Stigma Suku Dayak