Namun, “lengan kanannya, yang berhias gelang logam, kondisinya lumpuh,” ungkap Bock. “Untuk alasan itulah dia menempatkan senjata mandaunya di sisi kanan, dan selama beberapa tahun telah banyak korban dijatuhkan oleh bedebah yang haus darah ini dengan tebasan tangan kirinya.”
Sibau berkata kepada Bock bahwa sukunya tidak makan orang setiap hari. Mereka makan daging dari berbagai satwa, nasi, dan buah-buahan liar. Namun, ujar sang kepala suku, sudah setahun ini mereka tidak makan nasi karena kegagalan panen.
Bock yang saat itu tengah melukis Sibau, kemudian buru-buru menyajikan seketel nasi yang baru saja masak kepada mereka. Lalu, dengan taburan garam, mereka menyantap nasi pulen itu.
Sebagai kenang-kenangan, Bock memberikan bingkisan berupa uang dua dolar tiap orang yang telah dilukisnya. Selain itu rombongan Dayak kanibal mendapat sepikul beras, untaian tasbih manik-manik, kain blacu yang panjangnya sekitar 22 meter untuk dibagi bersama.
Sementara, Kepala Suku Sibau memberikan kenang-kenangan yang membuat merinding bagi penerimanya. Bock mendapatkan dua tengkorak—lelaki dan perempuan tanpa rahang bawah—trofi dari pesiar berburu kepala. Semuanya dibungkus daun pisang.
Baca Juga: Kenali Titisan Kerajaan Kutai ing Martadipura di Kalimantan Timur
Carl Alfred Bock merupakan naturalis dan pelancong berkebangsaan Norwegia. Bock melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada 1879. Ketika itu usianya masih 30 tahun. Kisah penjelajahannya dibukukan dalam The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881. Buku itu berhias 37 litografi dan ilustrasi, umumnya tentang orang dan budaya Dayak.
Sibau juga memberikan kepada Bock sebuah perisai kayu yang dicat dengan pola warna semarak. “Perisai itu dipercaya sebagai harta istimewa,” ungkap Bock, “berhiaskan helai-helai rambut yang diambil dari korban manusia.”