Carl Bock, Peneliti Eropa Pertama yang Menepis Stigma Suku Dayak

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 5 Februari 2021 | 07:30 WIB
Litografi berjudul On the Head Hunting karya Carl Alfred Bock, yang melukiskan seorang lelaki Dayak dengan peranti berperang. (Carl Alfred Bock/Head Hunters of Borneo)

Nationalgeographic.co.id—“Perjalanan dari Kotta Bangoen ke permukiman Tring memakan waktu empat hari,” ungkap Carl Alfred Bock. Dia berharap di Moeara Pahou dapat menjumpai suku Dayak Tring, cabang keluarga suku Bahou. Lantaran sampai tiga hari tak berjumpa seorang pun, dia berencana memasuki kampung mereka. “Namun, Sultan dan pengikutnya berkata bahwa perjalanan menuju ke sana sangat tidak aman,” ungkap Bock. “Suku itu kanibal, dibenci, juga ditakuti oleh tetangga suku mereka." Sultan Aji Muhammad Sulaiman khawatir, suku Dayak akan menduga bahwa rombongannya bersiap menyerang mereka.  “Saya harus melihat mereka karena mendengar kisah bahwa mereka keji dan kanibal. Pemerintah kolonial berharap saya dapat memberikan laporan tentang kebiadaban itu,” pinta Bock. “Dan, saya pasti disalahkan kalau tidak menyaksikan mereka.”

Baca Juga: Carl Alfred Bock, Misi Penjelajahan Etnografi dan Sejarah Alam di Kalimantan

Pendeta perempuan dari Dayak Tring yang menunjukkan rajah di sekujur pahanya. Telinganya memanjang karena berbandul logam. Litografi ini berdasar karya lukis Carl Bock antara 1879-1880. Perempuan ini berkata kepada Bock bahwa selain telapak tangan, otak dan daging lutut merupakan hidangan terlezat bagi sukunya. (Tropenmuseum)
 

Akhirnya Sultan meluluskan permintaan Bock dengan mengirimkan sebuah perahu dengan seseorang yang akan meminta suku Dayak Tring untuk menampakkan diri. Namun, seminggu berlalu tidak ada kabar. Anehnya lagi, perahu itu tak kunjung kembali. “Apakah mereka telah terbunuh dam dimakan?” demikian keresahan Bock.Sultan turut gusar. Kemudian dia mengirimkan perahu besar yang dipimpin seorang Kapitan Bugis. Mujurnya, tiga hari kemudian perahu kembali bersama  sekitar 40-an warga Dayak Tring, termasuk empat perempuan.  “Seorang pendeta perempuan mempersilakan saya untuk mengambil gambar sosoknya,” ungkap Bock. “Hal yang paling menakjubkan adalah lubang telinganya panjang berbandul cincin logam [...] Selanjutnya, ketiadaan alis.” Perempuan itu mengizinkan Bock untuk mengamati secara detail bagian tubuhnya.

“Kembangan tato di bagian paha juga menjadi hal yang menarik,” ungkapnya. “Rambut mereka yang pendek menjadi pembeda dengan para perempuan suku-suku lainnya; dan warna kulit mereka yang lebih cerah ketimbang suku-suka Dayak lainnya, kecuali orang-orang Punan."

Baca Juga: Kesaksian Perempuan Eropa tentang Pemburu Kepala Manusia di Kalimantan

Litograf berdasar karya Carl Bock 1879-1880 dalam "The Head Hunters of Borneo". Gambar 1: "Woon", Dayak Punan yang berkulit gelap asal Kenyah, sisi utara dari Long Wahou. Gambar 2 dan 3: Trofi tengkorak yang diberikan oleh Sibau Mobang yang kanibal kepada Carl Bock. Gambar 3: Topeng yang digunakan d (Tropenmuseum)

Sambil mengulurkan kedua tangannya, pendeta perempuan tadi berkata kepada Bock bahwa telapak tangan merupakan bagian terbaik untuk dimakan. Dia juga menunjuk lutut dan dahi, sambil berkata dengan bahasa Melayu "bai, bai" (baik) demikian menurut Bock. “Menunjukkan bahwa otak dan daging lutut merupakan hidangan lezat bagi sukunya.”  

Kemudian seorang kepala suku Dayak kanibal menyambangi tempat menginap Bock. Namanya, Sibau Mobang. Dia datang bersama pendampingnya—seorang perempuan dan dua lelaki.

“Saat dia memasuki rumah panggung saya,” demikian tulis Bock. “Dia berdiri beberapa saat, tanpa bergerak atau pun berkata, memandangi saya dengan tatapan dalam sementara saya sedang berpura-pura tidak mengamatinya. Lalu, dia duduk dengan pelan sekitar dua meter dari kaki saya.”

Tampaknya Sibau berusia sekitar 50-an tahun, demikian menurut Bock, ompong dan kempot, kulitnya coklat kekuningan, dan agaknya sakit-sakitan. Sejumput rambut kaku menghias kumis dan dagunya. Kupingnya menjuntai dan ditindik dengan lubang besar. Semua penampilan lelaki itu kian menambah kesan angker tentang dirinya.“Matanya mengekspresikan tatapan mata binatang buas,” ungkap Bock yang mencoba melukiskan sosok lelaki itu, “dan di sekitar matanya tampak garis-garis gelap, seperti bayang-bayang kejahatan.”

Baca Juga: Akibat Penebangan dan Perburuan, 100 Ribu Orangutan Kalimantan Punah

Sosok lelaki Dayak Tring dalam tarian ritual, membawa mandau (pedang) dan kliau (perisai). Perisai itu terbuat dari kayu dengan ukiran dan berhias rambut-rambut manusia yang menjadi korbannya. Litografi berdasar karya lukis Carl Bock antara 1879 dan 1880 dalam "The Head Hunters of Borneo". Perisai (Tropenmuseum)