Alih Fungsi Hutan Jadi Kebun Sawit Bikin Suhu Indonesia Makin Panas

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 6 Februari 2021 | 10:30 WIB
Sebuah adegan dalam panil porselen HVA yang menggambarkan kesibukan kuli di perkebunan sawit zaman Hindia Belanda. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Dalam beberapa dekade terakhir, kawasan hutan luas di Sumatera, Indonesia, telah dialihfungsikan menjadi perkebunan tanaman komersial seperti perkebunan kelapa sawit dan karet. Hasil studi yang diterbitkan di jurnal Biogeosciences pada 2017 lalu menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan ini meningkatkan suhu di wilayah tersebut. Pemanasan tambahan dapat mempengaruhi tumbuhan dan hewan dan membuat wilayah Indonesia itu lebih rentan terhadap kebakaran hutan.

Minyak sawit yang merupakan produk utama dari kelapa sawit adalah minyak nabati yang paling banyak digunakan di dunia, muncul dalam daftar bahan di banyak barang konsumen, mulai dari cokelat hingga sabun. Indonesia sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia telah membiarkan sebagian besar hutan hujannya ditebangi dan digantikan oleh perkebunan kelapa sawit dengan laju yang melebihi Brasil.

Hasil studi yang dari sebuah tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Clifton Sabajo dan Alexander Knohl dari University of Göttingen di Jerman ini, menemukan bahwa ekspansi kelapa sawit dan tanaman komersial lainnya di Sumatera telah membuat suhu di wilayah tersebut jadi lebih panas.

Hilangnya keanekaragaman hayati akibat masifnya perkebunan sawit. Tak jarang memicu kekeringan dengan dampak akhir kebakaran hutan. Bila tidak diperhatikan, pemanasan suhu global kian tak terkendali. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

"Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kebun tanaman komersial seperti perkebunan kelapa sawit dan karet tidak hanya berdampak pada keanekaragaman hayati dan cadangan karbon, tetapi juga memiliki efek pemanasan permukaan, menambah efek perubahan iklim," kata Knohl yang merupakan profesor di bidang bioklimatologi, seperti dilansir EurekAlert!.

Tim peneliti mempelajari perbedaan suhu permukaan untuk berbagai jenis tutupan lahan, seperti hutan, lahan tebang habis, dan perkebunan tanaman komersial, di provinsi Jambi, Sumatera. Mereka menggunakan data satelit yang dikumpulkan antara tahun 2000 dan 2015 oleh Landsat NASA dan instrumen MODIS, serta data yang dikumpulkan di lapangan.

Baca Juga: Fakta yang Perlu Anda Tahu Seputar Jatuhnya Meteorit di Lampung Tengah

Api perlahan membakar hutan yang berbatasan langsung dengan perkebunan sawit di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. (Yunaidi Joepoet)

Mereka menemukan bahwa pembukaan lahan tebang habis lebih hangat hingga 10 derajat Celsius daripada lahan perhutanan. "Lahan tebang habis adalah fase antara hutan dan jenis tutupan lahan lainnya, seperti perkebunan skala kecil [pertanian keluarga skala kecil] atau perkebunan komersial," ujar Sabajo, peneliti utama dalam studi ini yang kala itu masih merupakan mahasiswa PhD di University of Göttingen.

Adapun suhu perkebunan kelapa sawit dewasa adalah sekitar 0,8 derajat Celsius lebih hangat dari pada hutan, sedangkan perkebunan kelapa sawit muda lebih hangat 6 derajat Celsius. “Perkebunan kelapa sawit muda memiliki daun yang lebih sedikit dan lebih kecil serta kanopi yang terbuka, sehingga menghasilkan lebih sedikit air. Selain itu, tanah menerima lebih banyak radiasi matahari dan lebih cepat kering,” jelas Sabajo.

Sabajo mengatakan suhu permukaan di hutan lebih rendah daripada di perkebunan kelapa sawit dan pembukaan lahan terutama karena "pendinginan evaporatif", yang mirip dengan proses yang mendinginkan kita saat kita berkeringat. Ada lebih banyak penguapan dan transpirasi air dari tanaman dan tanah ke atmosfer di hutan daripada di lahan yang ditebang habis atau perkebunan kelapa sawit muda, yang berarti tanah lebih sejuk untuk jenis tutupan lahan tersebut.

Baca Juga: Lahan Gambut Tropis Tertua di Dunia Ditemukan di Pedalaman Kalimantan

Dalam beberapa dekade terakhir, kawasan hutan luas di Sumatra, Indonesia, telah dialihkan menjadi perkebunan sawit. Salah satunya adalah kawasan Bulu Tumbang,Belitung Barat. Sawit memiliki potensi dalam menyejahterakan masyarakat, akan tetapi berdampak negatif dalam keanekaragaman hayati. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Secara keseluruhan, rata-rata suhu permukaan di Provinsi Jambi meningkat sebesar 1,05 derajat Celsius antara tahun 2000 dan 2015. Sebagian dari pemanasan ini disebabkan oleh perubahan iklim, tetapi sebagian merupakan konsekuensi langsung dari perubahan tata guna lahan.

“Kami membandingkan peningkatan suhu permukaan tanah rata-rata di provinsi dengan lokasi yang tertutup hutan selama seluruh periode dengan lokasi yang dapat dianggap sebagai kontrol, yakni yang tidak terpengaruh oleh perubahan penggunaan lahan secara langsung. Suhu permukaan di lokasi lahan hutan (pada pukul 10:30) hanya meningkat 0,45 derajat Celsius, menunjukkan bahwa setidaknya ada 0,6 derajat Celsius dari kenaikan 1,05 derajat Celsius disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan," beber Knohl.

“Efek pemanasan yang kuat yang kami tunjukkan untuk provinsi Jambi dapat menjadi indikasi perubahan suhu permukaan tanah di masa depan untuk wilayah lain di Indonesia yang akan mengalami transformasi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit,” tulis para ilmuwan dalam laporan penelitian tersebut.

Baca Juga: Studi: Populasi Komodo Kian Memburuk Akibat Interaksi dengan Manusia

Buah kelapa sawit menghasilkan dua jenis produk, Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO). (Lutfi Fauziah)

Seperti yang banyak diberitakan, pemerintah Indonesia berencana untuk memperluas produksi minyak sawit negaranya secara substansial, karena permintaan akan produk ini meningkat di seluruh dunia. Alih lahan hutan menjadi perkebunan sawit dan pertambangan ditengarai akan makin marak terjadi terutama setelah diterbitkannya Undang-Undang Cipta Kerja yang memudahkan proses izin peralihan lahan tersebut.

Apa arti kenaikan suhu tambahan untuk wilayah ini masih belum jelas, tetapi Knohl mencatat bahwa "suhu permukaan tanah merupakan bagian penting dari iklim mikro, yang membentuk kondisi habitat bagi tumbuhan dan hewan."

Dalam studi ini, para peneliti menulis bahwa pemanasan yang diamati ini dapat mempengaruhi ekosistem, mengurangi ketersediaan air di wilayah tersebut selama musim kemarau, serta membuat daerah tersebut lebih rentan terhadap kebakaran hutan. “Kami berpendapat bahwa perkembangan tata guna lahan saat ini di Indonesia perlu dievaluasi dengan cermat atas semua aspek konsekuensi lingkungan dan sosial-ekonomi. Suhu permukaan tanah dan iklim mikro harus dipertimbangkan,” tegas Knohl.