Studi Jelaskan Bagaimana Perubahan Iklim Memicu Pagebluk Covid-19

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 8 Februari 2021 | 16:33 WIB
Aksi Iklim di berbagai negara dalam upaya menahan laju kenaikan suhu yang dapat menyebabkan berbagai bencana besar. ()

Nationalgeographic.co.id - Maraknya pembakaran hutan hujan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, memicu perubahan iklim global. Secara tak langsung, perubahan iklim juga memicu berkembangnya pagebluk Covid-19 ke manusia lewat kelelawar.

Kehidupan kelelawar sendiri tak lepas dari berbagai virus zoonosis, dan memiliki kemampuan untuk bertahan dari serangannya. Berkat kemampuannya, mereka bisa dapat bebas menyebar ke seluruh dunia, termasuk lingkungan kita.

Di sisi lain, virus mungkin terkandung pada individu kelelawar yang pertahanan tubuhnya kuat, tetapi menjadi petaka bagi tempat barunya.

Studi terbaru menemukan bahwa karena iklim menghangat selama satu abad terakhir, seperti meningkatnya ultraviolet, karbon dioksida, dan perubahan curah hujan, membuat daerah hijau tropis berubah.

Pada suatu kasus lingkungan, kawasan tropis di Tiongkok berubah menjadi sabana dan hutan sehingga menjadi habitat utama kelelawar. Diperkirakan, lebih dari 40 spesies kelelawar berpindah ke kawasan ini.

Baca Juga: Alih Fungsi Hutan Jadi Kebun Sawit Bikin Suhu Indonesia Makin Panas

"Mengetahui bagaimana perpindahan global pada spesies kelelawar telah bergeser akibat perubahan iklim, mungkin merupakan langkah penting dalam merekonstruksi penyebab awal wabah Covid-19," terang Robert Beyer, salah satu peneliti dari Cambridge University.

Beyer bersama timnya mengobservasi data vegetasi, suhu, curah hujan, tutupan awan, dan kebutuhan vegetasi spesies kelelawar di dunia. Lalu memetakan perpindahannya lewat rentang data sejak 1900-an dengan distribusi kelelawar dewasa ini.

"Karena perubahan iklim mengubah habitat, kelelawar meninggalkan beberapa area dan pindah ke tempat lain - membawa virusnya bersama mereka," jelas Beyer dikutip dari Eurekalert.

"Ini tidak hanya mengubah wilayah di mana virus berada, tetapi kemungkinan besar berpotensi adanya interaksi baru antara hewan dan virus, menyebabkan lebih banyak virus berbahaya ditularkan atau berkembang."

Meski kelelawar berperan penting dalam ekosistem dan rantai makanan. Hingga saat ini teridentifikasi ada sekitar 500 spesies tanaman yang bergantung pada penyerbukan dan kotoran kelelawar. Dengan adanya kelelawar pun mereka dapat mengendalikan populasi serangga yang mengganggu, seperti nyamuk penyebab DBD, dengan memakannya.

Mereka menulis, penggundulan hutan secara langsung memang merusak habitat asli mereka, tetapi juga mendorong iklim global berubah. Sehingga, selain kebutuhan vegetasi, kondisi lingkungan global yang berubah mengakibatkan kelelawar juga bermigrasi.

Baca Juga: Ancaman Virus Nipah Akibat Rusaknya Habitat Kelelawar di Asia

Rusaknya habitat selain menekan populasi hewan di dalamnya, juga dapat memicu lemahnya sistem kekebalan mereka. Mengakibatkan peluang besar bagi virus untuk bermutasi dengan berinang pada hewan lain.

"Di antara spesies satwa liar yang terancam, mereka yang populasinya berkurang karena eksploitasi dan hilangnya habitat menjadi lebih mudah untuk memaparkan virus kepada manusia," tulis mereka dalam jurnal Science of the Total Environment Vol. 26 Januari 2021.

Meski sebagian besar famili dari virus corona yang dibawa kelelawar saat ini belum dapat menginfeksi kita. Tetapi nyatanya kebutuhan vegetasi yang membuat mereka berpindah habitat dan mengancam.

"Di antara spesies satwa liar yang terancam, mereka yang populasinya berkurang karena eksploitasi dan hilangnya habitat menjadi lebih mudah untuk memaparkan virus kepada manusia," tulis mereka.

Mereka menekankan bahwa penelitian ini belum mengetahui asal muasal SARS-CoV-2 secara pasti. Studi ini baru sekadar menunjukkan adanya korelasi antara perubahan iklim dengan pagebluk.

Untuk itu, penelitian ini dapat menjadi tinjauan lebih lanjut untuk memperkuat asal-usul SARS-CoV-2 di alam. Studi yang membantu dapat menggunakan metode pada vegetasi yang berbeda dan menggunakan model lain untuk memperkuat bukti ilmiah.

Variabel lainnya yang dapat membantu penyelidikan lanjutan dapat berupa penyebaran kelelawar secara global dan spesies invasif lainnya, dan perhitungan polusi di alam liar. Dengan demikian semakin banyak penelitian yang bisa menunjukkan perubahan iklim sebagai pendorong patogen menginfeksi inang baru.

“Fakta bahwa perubahan iklim dapat mempercepat penularan patogen satwa liar ke manusia harus menjadi peringatan secepatnya untuk mengurangi emisi global,” kata Camilo Mora, salah satu peneliti dari Universitas Hawaii.

Baca Juga: Semakin Sering Manusia Menebang Hutan, Semakin Besar Risiko Munculnya Penyakit Baru

Beyer dan timnya sangat menyarankan agar siapapun mulai menerapkan langkah-langkah membatasi interkasi manusia dan satwa liar. Cara ini termasuk menerapkan peraturan ketat tentang perburuan dan perdagangan satwa liar, mencegah kebiasaan makan dan pengobatan lewat satwa liar.

Lebih lanjut, mereka menulis pengetatan interaksi juga termasuk menetapkan standar kesehatan hewan yang ketat pada pertanian, pasar, dan transportasi tradisional. Maka, tulis para peneliti, kita harus mulai mempertimbangkan kebutuhan sosio-ekonomi alternatif untuk solusinya.

"Mengingat kemungkinan yang diangkat oleh analisis kami bahwa emisi gas rumah kaca global mungkin telah menjadi faktor yang berkontribusi dalam wabah SARS-CoV-1 dan SARS-CoV-2, kami gaungkan ajakan untuk mitigasi perubahan iklim yang menentukan, termasuk sebagai bagian dari COVID-19 dalam program pemulihan ekonomi," tulis mereka.