Samudra Arktik Pernah Menjadi Tawar di Zaman Es, Sebuah Studi

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 8 Februari 2021 | 19:13 WIB
Ilustrasi es di Arktika. (StrahilDimitrov/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id – Siberia, terbentang di utara Asia yang kita kenal kini, tak selamanya berupa dataran yang ramah dihuni manusia. Dahulu, sekitar 60.000-70.000 tahun yang lalu, kawasan itu hampir tertutup es seperti Bumi belahan utara lainnya, Eropa dan Amerika Utara.

Karena jaraknya yang begitu luas, para ilmuwan pun bertanya-tanya mengenai seberapa tebal dan bagaimana es memengaruhi sirkulasi aliran laut periode glasial Bumi. 

Lewat laporan jurnal Nature 3 Februari 2021, ternyata 150.000 tahun yang lalu es itu berperan untuk membuat Samudra Arktik dan Laut Nordik menjadi perairan tawar. Kedua perairan itu tertutup es setebal 900 meter, yang kemudian secara cepat di akhir periode glasial menjadi asin akibat Samudra Atlantik.

Para ilmuwan dari Alfred Wegener Institute (AWI) dan University of Bremen ini menganalisa komposisi sedimen laut di Samudra Arktik dan Laut Nordik. Berbeda dengan di darat, di laut terdapat jejak es yang luas yang ditemukan sebelumnya. Data temuan penelitian terdahulu kemudian digabungkan dengan data baru untuk diteliti, tulis mereka.

Es yang menutupi Samudra Arktik bertahan sekitar 150.000 hingga 130.000 tahun yang lalu, kemudian terjadi lagi pada 70.000 hingga 60.000 tahun yang lalu. Kedua periode itu membuat air tawar menumpuk di bawah es yang membuat samudra Arktik sangat segar selama ribuan tahun.

"Hasil ini berarti perubahan nyata pada pemahaman kita tentang Samudra Arktik di zaman es,” ucap penulis pertama, Walter Geibert dari AWI, dikutip dari rilis pers. “Sepengetahuan kami, ini pertama kalinya ada temuan Samudra Arktik dan Laut Nordik yang [sempat jadi] tawar untuk diteliti—terjadi tidak hanya sekali, tetapi dua kali.”

Data yang mereka gunakan dalam analisa geologis adalah sepuluh sampel sedimen dan catatan terkait terumbu karang di masa lalu. Dengan demikian para peneliti dapat menggambarkan sejarah iklim glasial, tinggi permukaan laut, dan zat apa saja yang menjadi tawar.

Mereka menulis, isotop thorium-230 sebagai hasil pembusukan alami uranium, tak ditemukan dalam observasi. Padahal, hasil itu merupakan indikator penting sebagai data ‘jam alam’ periode glasial.

“Zat ini [semestinya] terakumulasi di dasar laut, yang mana ia tetap dapat dideteksi untuk waktu yang sangat lama sebab jejak asalnya berusia 75.000 tahun,” ungkap Geibert. “Ketidakhadirannya [hasil zat itu] yang berulang dan tersebar luas adalah bukti yang mengungkapkan kepada kami mengenai apa yang terjadi.”

Menurut tim studi, pola yang berulang itu justru memperkuat bukti bila air tawar telah mengisi Samudra Arktik—baik saat kondisi beku dan cair—dua kali di masa lalu.

Proses menjadi tawarnya samudra Arktik, akibat permukaan laut global yang 130 meter lebih rendah dari hari ini. Turunnya permukaan laut itu disebabkan air bertumpuk menjadi es di kutub utara dan membatasi sirkulasi laut.

Samudera Arktik dan lapisan esnya selama periode glasial. (Martin Künsting/AWI)

Selat Bering dan selat-selat kecil di kepulauan Kanada berfungi sebagai penghalang lajur aliran lautan. Sedangkan di Laut Nordik terdapat pegunungan atau lapisan es yang membentang ke dasar laut sehingga membatasi laju massa air.

Saat musim panas selama rentang waktu puluhan ribu tahun itu, tentunya menyebabkan es mencair. Sungai-sungai yang mengandung air tawar dari sekitar Eropa, Asia, dan Amerika Utara, mengalir secara masif ke Samudra Arktik. Mereka memperkirakan 1.200 kilometer kubik per tahunnya mengalir ke Samudra Arktik.

Beberapa di antaranya melewati Laut Nordik sebagai jalur penghubung ke dataran yang lebih rendah di sela-sela punggung laut Greenland-Skotlandia ke Atlantik Utara. Dengan demikian air tawar itu juga menghalangi air asin Atlantik untuk menebus jauh ke utara, sehingga air tawar di Arktik terjaga.

Lalu ketika air mulai mencair di akhir periode glasial, air garam mulai menyebar di Samudra Arktik, tulis mereka.

"Kami percaya bahwa hal itu kemudian bisa dengan cepat menggantikan air tawar yang lebih ringan, mengakibatkan pelepasan tiba-tiba dari jumlah air tawar yang terkumpul di atas batas selatan Laut Nordik yang dangkal, punggung laut Greenland-Skotlandia, ke Atlantik Utara,” papar Geibert.

Studi terkait luruhnya air tawar dari Samudra Arktik ini dapat berfungsi sebagai penggambaran bagaimana perubahan iklim terjadi selama periode glasial yang terakhir. Di masanya, suhu Greenland naik hingga 10 derajat celcius selama beberapa tahun. Sedangkan untuk kembali ke suhu glasial membutuhkan waktu ribuan tahun lagi.