Ko Ngian: Imlek di Bangka, Harapan Baru Buang Debu-Debu yang Kotor

By Fikri Muhammad, Jumat, 12 Februari 2021 | 14:14 WIB
Jalan di Bangka Barat dihiasi oleh lampion menjelak Imlek. (YouTube Hetika Bangka)

Nationalgeographic.co.id—Tahun baru Imlek atau Ko Ngian (dalam bahasa Hakka) sudah tiba. Masyarakat Tionghoa Bangka (Tong Ngin) dan Melayu (Fong Ngin) sama-sama merayakannya dengan suka cita. Sudah dari jaman dahulu bahwa Tionghoa dan Melayu di Bangka hidup tanpa sekat. Saling mengunjungi saat perayaan hari besar sudah jadi hal yang lumrah. 

Jauh sebelum hari ini datang, kesibukkan sudah terasa sejak dua minggu yang lalu. Yakni bersih-bersih rumah. Bahkan pada tradisi lama, genteng-genteng rumah juga dibersihkan "cuci genteng".

"Bersihin secara besar-besaran. Nggak boleh ada jaring laba-laba. Lantainya disikat. Bukan untuk dilihat orang, filosofinya, sampah kotoran batin harus dibuang. Selama satu tahun kita banyak debu kotoran di rumah, buang hal yang tak baik. Sebenarnya refleksi ke diri sendiri. Debu-debu yang nggak baik harus dibuang untuk menyambut tahun baru," ucap Suwito Wu, Ketua Heritage of Tionghoa Bangka.

Saat pergantian Tahun Lunar tiba pada pukul 00:00 ada tradisi membuka pintu. Hal ini dilakukan dupaya harapan baru bisa datang. Kemudian satu jam kemudian pintu itu ditutup kembali. Baru menjelang pagi pintu dibuka kembali, berharap rezeki akan masuk.

Kediaman Suwito Wu saat membuka pintu pada tengah malam kala Imlek. (Suwito Wu)

Menikmati Ko Ngian di Bangka akan lebih mantap jika menyantap bolu zai (bolu kecil), kue khas yang ini masih dimasak dengan cara tradisional. Melambangkan pengharapan akan ksejahteraan yang terus muncul sepanjang tahun. Ada juga kue lapis, yang nikmat disantap. Dengan filosofinya, rejeki yang berlapis-lapis.

Tidak ketinggalan, kue keranjang, yang dipersembahkan saat persembahyangan. Kue ini akan disimpan sampai hari ke 20 setelah tahun baru Imlek.

"Kue keranjangnya bisa kita bawa pulang setelah hari ke-20. Selain untuk konsumsi bersama keluarga, satu irisannya kita lempar ke atas atap. Istilahnya supaya langit nggak bocor atau banjir musim hujan. Dipercaya bahwa pada hari ke-20 dewa-dewi turun ke dunia fana. Setelah sebelumnya pada tanggal 24 bulan 12 (penanggalan Imlek) dewa-dewi itu naik ke langit melaporkan seluruh aktivitas manusia," ucap Suwito.

Kue keranjang, hidangan khas saat perayaan Imlek. (Thinkstock)

Namun dibalik kenikmatan ada pula pantanganya. Yakni tidak boleh mencuci pakaian atau membersihkan sampah. "Karena itu hari yang baik, jadi jangan ada kebaikan yang terbuang," ucap Suwito. 

Perayaan Imlek di tiap daerah memang berbeda. Contohnya seperti penggunaan sesajian sembahyang leluhur. Di tempat lain, penghormatan ini bisa dilakukan beberapa hari sebelum perayaan Imlek. Namun pada budaya Hakka, ritual ini lebih mantap jika dilakukan sehari sebelum tahun baru. 

"Jadi kita menjamu orang tua, biasanya dua generasi ke atas, mereka yang sudah tidak ada lagi di dunia. Doa yang kita ucapkan ialah selamat tahun baru dan menyajikan hidangan yang bisa kita sajikan. Seperti seolah-olah mereka ada," ucap Suwito.