Nationalgeographic.co.id—Tahun baru Imlek atau Ko Ngian (dalam bahasa Hakka) sudah tiba. Masyarakat Tionghoa Bangka (Tong Ngin) dan Melayu (Fong Ngin) sama-sama merayakannya dengan suka cita. Sudah dari jaman dahulu bahwa Tionghoa dan Melayu di Bangka hidup tanpa sekat. Saling mengunjungi saat perayaan hari besar sudah jadi hal yang lumrah.
Jauh sebelum hari ini datang, kesibukkan sudah terasa sejak dua minggu yang lalu. Yakni bersih-bersih rumah. Bahkan pada tradisi lama, genteng-genteng rumah juga dibersihkan "cuci genteng".
"Bersihin secara besar-besaran. Nggak boleh ada jaring laba-laba. Lantainya disikat. Bukan untuk dilihat orang, filosofinya, sampah kotoran batin harus dibuang. Selama satu tahun kita banyak debu kotoran di rumah, buang hal yang tak baik. Sebenarnya refleksi ke diri sendiri. Debu-debu yang nggak baik harus dibuang untuk menyambut tahun baru," ucap Suwito Wu, Ketua Heritage of Tionghoa Bangka.
Saat pergantian Tahun Lunar tiba pada pukul 00:00 ada tradisi membuka pintu. Hal ini dilakukan dupaya harapan baru bisa datang. Kemudian satu jam kemudian pintu itu ditutup kembali. Baru menjelang pagi pintu dibuka kembali, berharap rezeki akan masuk.
Menikmati Ko Ngian di Bangka akan lebih mantap jika menyantap bolu zai (bolu kecil), kue khas yang ini masih dimasak dengan cara tradisional. Melambangkan pengharapan akan ksejahteraan yang terus muncul sepanjang tahun. Ada juga kue lapis, yang nikmat disantap. Dengan filosofinya, rejeki yang berlapis-lapis.
Tidak ketinggalan, kue keranjang, yang dipersembahkan saat persembahyangan. Kue ini akan disimpan sampai hari ke 20 setelah tahun baru Imlek.
"Kue keranjangnya bisa kita bawa pulang setelah hari ke-20. Selain untuk konsumsi bersama keluarga, satu irisannya kita lempar ke atas atap. Istilahnya supaya langit nggak bocor atau banjir musim hujan. Dipercaya bahwa pada hari ke-20 dewa-dewi turun ke dunia fana. Setelah sebelumnya pada tanggal 24 bulan 12 (penanggalan Imlek) dewa-dewi itu naik ke langit melaporkan seluruh aktivitas manusia," ucap Suwito.
Namun dibalik kenikmatan ada pula pantanganya. Yakni tidak boleh mencuci pakaian atau membersihkan sampah. "Karena itu hari yang baik, jadi jangan ada kebaikan yang terbuang," ucap Suwito.
Perayaan Imlek di tiap daerah memang berbeda. Contohnya seperti penggunaan sesajian sembahyang leluhur. Di tempat lain, penghormatan ini bisa dilakukan beberapa hari sebelum perayaan Imlek. Namun pada budaya Hakka, ritual ini lebih mantap jika dilakukan sehari sebelum tahun baru.
"Jadi kita menjamu orang tua, biasanya dua generasi ke atas, mereka yang sudah tidak ada lagi di dunia. Doa yang kita ucapkan ialah selamat tahun baru dan menyajikan hidangan yang bisa kita sajikan. Seperti seolah-olah mereka ada," ucap Suwito.
Baca Juga: Taruhan Tinggi Menuju Perlombaan ke Planet Merah Bernama Mars
Bebeda dengan Tionghoa di Jawa, yang mayoritas Hokkien, menurut Suwito, Bangka juga punya adat tersendiri. "Sebelum hari perayaan tiba, biasanya ada makan malam bersama keluarga. Seperti Hokkien di Jawa. Tapi kalau di Bangka, biasanya sibuk membersihkan rumah sampai malam, walaupun beberapa ada yang melakukanya (makan malam bersama)," kata Suwito.
Bicara Imlek tak lengkap jika tak bicara angpao yang juga punya filosofinya. "Angpao ada makna filosofinya, menyisaakkan rejeki, agar rejeki kita bisa bertambah. Ibaratnya kita berderma, jangan sampai tangan kita nutup terus nggak mau ngasih. Gimana yang di atas mau kasih ke kita kalau kita nutup tangan," tutur Suwito.
Tradisi Imlek di Bangka hampir sama dengan Idul Fitri pada pelaksanaanya, yakni ada jalinan silaturahmi. Biasanya keluarga muda berkunjung ke rumah-rumah kerabat atau saudara yang lebih tua. Lalu pada sore hari atau keesokan harinya mereka menetap di rumah masing-masing untuk menyambut teman-teman yang datang.