Cengkih Ternate, Keuntungan yang Menggiurkan Para Penjelajah Samudra

By Utomo Priyambodo, Jumat, 12 Februari 2021 | 11:42 WIB
Tanaman Cengkih (Vincent Shane Hansen)

Nationalgeographic.co.id—Keberadaan pohon Cengkih Afo III di Ternate yang masih tegak berdiri hingga saat ini merupakan saksi bisu sejarah rempah Maluku. Cengkih Afo III merupakan pohon cengkih tertua di dunia yang masih hidup. Usianya diperkirakan 200 tahun, dengan lingkaran 3,90 meter, dan panen per musim mencapai 260 kilogram.

Sebelumnya sempat ditemukan pula Cengkih Afo I dan Cengkih Afo II, pohon-pohon cengkih lain yang lebih tua di Ternate. Namun Cengkih Afo I sudah mati sejak sekitar tahun 2000 dengan usianya saat itu mencapai 416 tahun. Tinggi cengkeh Afo I sekitar 36,6 meter dengan diameter batang 1,98 meter dan panen per musim 600 kilogram. Sementara cengkeh Afo II juga sudah mati sekitar 2019 dan usianya diperkirakan 250 tahun. Dengan lingkar batang pohon yang mencapai 3,97 meter, tingkat panen per musim ditaksir mencapai 340 kilogram.

Dalam bahasa Ternate, kata “Afo” memiliki arti “tua”. Ada pula versi lain yang mengatakan bahwa kata “Afo” berasal dari kata 'Alfalat', nama keluarga yang berhasil menyelamatkan pohon-pohon cengkeh saat eradikasi (pemusnahan) oleh Belanda, yang sejak abad ke-16 berkuasa dan memonopoli perdagangan cengkih di Ternate.

Kedatangan para penakluk dari Belanda ke Ternate merupakan buntut dari kedatangan bangsa-bangsa Eropa lainnya yang sudah lebih dulu menyambangi Kepulauan Maluku dan mendapatkan keuntungan besar dari penjualan rempah-rempah Maluku di Eropa. M. Adnan Amal dalam bukunya yang berjudul Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950 mencatat bahwa bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Maluku adalah Portugis, kemudian baru disusul oleh Spanyol, Belanda, dan Inggris.

Avontur Daring Merapah Rempah: Ron Kampong Cina Ternate dan Sekitarnya bersama Ternate Heritage Society yang didukung National Geographic Indonesia dan Saya Pejalan Bijak. (Saya Pejalan Bijak/National Geographic Indonesia)

Klik di sini untuk pendaftaran Avontur Daring Merapah Rempah

Pada 1506, Lodewijk de Bartomo tiba di Ternate dari Banda. Ia merupakan orang Eropa pertama yang datang ke Maluku, sebagaimana dicatat dalam sejarah. De Bartomo adalah seorang Portugis. Sesampainya ke tanah asal, ia melaporkan bahwa rakyat di Banda masih liar, sementara Islam telah memasyarakat di Ternate hingga ke lingkungan keluarga istana. Tidak jelas posisi de Bartomo ketika berkunjung ke daerah-daerah Maluku tersebut. Di samping itu, tidak terdapat bukti adanya kontak resmi yang dilakukan de Bartomo dengan pejabat atau penguasa lokal.

Beberapa tahun setelah kedatangan de Bartomo, Portugis secara resmi tiba di Maluku dalam upayanya mencari daerah asal rempah-rempah. Kedatangan Portugis kemudian disusul Spanyol dalam selang waktu yang relatif singkat, menyusul Belanda dan Inggris dalam selang waktu yang berbeda.

Tahun 1512 merupakan awal sejarah perdagangan rempah-rempah yang panjang dan penuh konflik antara sesama kerajaan Maluku ataupun antara kerajaan-kerajaan di Maluku dengan orang-orang Eropa serta antara sesama orang Eropa. Konflik-konflik ini terutama dilatari kehendak untuk memperebutkan rempah-rempah dan perniagaannya atau untuk mendapatkan hak monopoli atasnya. Konflik-konflik yang berkepanjangan dan rumit, yang terjadi pada masa-masa selanjutnya, tidak hanya merambat ke dalam kehidupan sosio-kultural dan keagamaan, tetapi juga menggembosi dan meludeskan kedaulatan serta kemerdekaan kerajaan-kerajaan Maluku, termasuk Kerajaan Ternate yang merupakan kerajaan terbesar di sana.

Sebelum bangsa Eropa datang ke Maluku, para pedagang di Maluku sebenarnya telah terbiasa menjalin perdagangan rempah dengan pedagang-pedangan dari Tiongkok, Gujarat, dan Arab. Namun tak ada dari mereka yang memiliki niat rakus untuk memonopoli perdagangan rempah ini sepert bangsa Eropa.

Baca Juga: Pernikahan Usia Dini di Berbagai Negara: Diatur Orang Tua dan Sesepuh

Kepulauan Maluku memang dikenal sebagai penghasil rempah-rempah berkualitas tinggi, terutama cengkihnya (Eugenia aromatica). Thome Pires, ketika bertemu pedagang-pedagang bangsa Melayu menyatakan, "Tuhan telah menciptakan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk pala serta Maluku untuk cengkih, dan barang dagangan ini tidak dikenal di tempat lain di dunia ini kecuali di tempat-tempat tadi; dan telah saya tanyakan dan selidiki dengan teliti apakah barang ini terdapat di tempat lain, dan semua orang katakan tidak."

Pires adalah pakar obat-obatan Portugis yang tiba di Malaka beberapa saat setelah penaklukannya oleh Portugis. Ia juga mengunjungi Jawa dan Sumatera untuk penelitian ilmu obat-obatan. Bukunya, Suma Oriental, ditulis di Malaka dan diselesaikan di Goa. Tanah asal tanaman cengkih (eugenia aromatica) adalah lima pulau kecil di Maluku: Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Tetapi, di Halmahera –khususnya Jailolo– juga tumbuh pohon tersebut, yang mungkin disebarkan ke sana oleh burung atau manusia.

Semula para pedagang dari Tiongkok, yang pertama kali menjalin transaksi dengan pedagang Maluku, masih merahasiakan asal-usul daerah penghasil cengkih, kayu cendana, dan pala selama berabad-abad. Dari para pedagang Tiongkok inilah, orang-orang di belahan dunia lain, termasuk orang-orang Melayu, Arab, dan Hindustan, bisa menikmati rempah-rempah dari Maluku tanpa mengetahui daerah asalnya. Lewat pada pedagang Arab dan Hindustan inilah, rempah-rempah Maluku kemudian juga bisa masuk ke dunia Barat melalui pintu masuk Yunani.

Belakangan, ada beberapa sumber Tiongkok yang mengungkapkan bahwa pedagang-pedagang Tiongkok telah mengetahui Maluku sebagai penghasil rempah-rempah dan melakukan pelayaran niaga ke kawasan ini melalui Manila sejak abad ke-13. Pada abad ke-14, seabad setelah perahu-perahu besar Tiongkok melayari daerah Maluku, pedagang nusantara (Jawa dan Melayu) dan pedagang asing lainnya (Arab dan Hindustan) akhirnya turut tiba di daerah ini. Dan di awal abad ke-16, para pelaut dari Eropa turut menemukan daerah ini.

Baca Juga: Bencana akibat Mencairnya Gletser Himalaya Itu Sudah Diwanti-wanti

Sejak dulu orang-orang Maluku biasa memanfaatkan rempah-rempah sebagai bumbu penyedap masakan dan untuk pengobatan. Ketika pelalut Inggris bernama Francis Drake mengunjungi Ternate, ia dijamu Sultan Babullah dengan berbagai jenis masakan –dari nasi sampai sagu dan ikan bubara bakar– yang semuanya diramu dengan aroma cengkih.

Orang-orang Tiongkok, pada zaman dahulu, menggunakan cengkih untuk pengobatan dan stimulasi selera makan. Bahkan, mereka percaya bahwa cengkih dapat meningkatkan kemampuan seksual manusia.

Pada zaman pemerintahan dinasti Han di Tiongkok, cengkih digunakan para hakim untuk melegakan tenggorokan sebelum mengucapkan putusan atau menjatuhkan hukuman kepada seorang terdakwa. Para punggawa juga diharuskan mengunyah cengkih untuk mengharumkan suasana audiensi mereka atau ketika menghadap kaisar menerima titah, supaya mereka bisa berbicara dengan suara yang bagus dan lancar.

Di Eropa, selain untuk pengobatan dan penyedap masakan, cengkih juga digunakan sebagai parfum. Bubuk cengkih dipakai sebagai obat hirup yang biasanya merupakan asesori kalangan menengah ke atas. Tetapi, karena harganya sangat mahal, ia hanya dapat dinikmati oleh golongan berduit.

Baca Juga: Riset Ungkap Kenapa Banjir di Indonesia Terjadi Lebih Sering dan Parah

Pada abad pertengahan, rempah-rempah masih merupakan barang mewah di Eropa yang bernilai sangat mahal. Karena harga jualnya yang sangat tinggi di pasaran Eropa, tidaklah mengherankan jika para pedagang berusaha mati-matian membawanya ke sana, sekalipun dengan resiko tinggi yang mesti dihadapi di sepanjang jalur perniagaan.

Seperti yang tercatat dalam sejarah, kerajaan-kerajaan Maluku mengandalkan sumber penghasilannya dari sektor produksi dan perdagangan rempah-rempah ini. Kerajaan Ternate, misalnya, berhasil meraih hegemoni politik hingga penghujung abad ke-16 dan beberapa dekade pada abad sesudahnya, karena menguasai sebagian besar –bahkan, menjadi sentra perdagangan– rempah-rempah di Maluku.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa negara-negara Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, dan kemudian juga Inggris seolah-olah berjudi dengan nasib dan mempertaruhkan segalanya dalam upaya memperoleh monopoli atas perdagangan rempah Maluku dan kemudian mempertahankannya dengan segala daya dan upaya, baik politik, ekonomi, maupun kekuatan militer?

Baca Juga: Manisnya Pabrik Gula Era Hindia Belanda yang Kini Masih Terasa

Jawabannya terletak pada keuntungannya yang sangat menggiurkan. Keuntungan dalam perniagaan rempah-rempah begitu fantastis, bahkan hampir tidak masuk akal. Seorang pedagang Arab pernah mengatakan bahwa jika ia membawa enam perahu bermuatan rempah-rempah dan kehilangan lima perahu lainnya di tengah jalan, maka keuntungan yang diraihnya dari satu perahu yang tinggal itu masih lumayan.

Sebagai perbandingan, harga rempah-rempah pada abad ke-16 di pasaran lokal dan internasional dapat digambarkan sebagai berikut: Pada 1600, 10 pon cengkih di Maluku –seharga setengah penny per pon– bila dijual di Eropa, akan menghasilkan keuntungan sebesar 32.000 persen. Keuntungan yang fantastis itulah yang mendorong para pejabat Eropa –baik Portugis, Spanyol atau Belanda– turut berdagang secara pribadi.

Menurut Leonard Y. Andaya (1973), perdagangan rempah-rempah di Ternate secara khusus telah menjadi penggerak aktivitas perniagaan di kawasan Asia Tenggara dan memunculkan interaksi dengan berbagai bangsa dan budaya di nusantara. Ternate mengemuka dalam catatan sejarah terutama karena hasil rempah-rempahnya. Tanahnya yang subur menjadikan Ternate penghasil cengkih dan pala terpenting di Kepulauan Maluku. Keadaan itu didukung oleh posisi geografisnya yang terletak dalam kesatuan lintasan Laut Maluku, Sulawesi, dan Laut Sulu yang merupakan satu kesatuan, sehingga menempatkan kawasan ini sebagai bagian dari jalur utama internasional.

Kepulauan Maluku pada umumnya, dan Pulau Ternate pada khususnya, telah membangkitkan pengembangan terhadap sejarah dan kartografi dunia. Semua penjelajah samudra abad ke-16 dan ke-17 berlomba mencari rute pelayaran menuju legenda pulau rempah ini. Jelas dan tak terbantahkan, kartografi dunia berutang pada cengkih Ternate.

Klik di sini untuk pendaftaran Avontur Daring Merapah Rempah