Menguak Sisa Kerajaan Pananjung, Kuasa yang Hilang di Pangandaran

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 15 Februari 2021 | 16:28 WIB
Temuan di situs Batu Kalde: (Jauh-dekat) Arca Nandi, Lampik Padma, dan Yoni. (M. Iqbal Syis)

Nationalgeographic.co.id – Minimnya temuan arkeologis mengenai kerajaan-kerajaan di Tatar Sunda menjadi sulit untuk membuktikan keberadaannya. Salah satunya mengenai kerajaan Pananjung di bawah Sunda Galuh pada abad ke-16.

Pada 2016 dan 2017, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten berhasil mengekskavasi temuan di Cagar Alam Pangandaran. Lokasi itu bernama Situs Kalde. 

Lewat publikasinya, mereka memperkirakan situs tersebut adalah candi dengan luas 46 meter x 49,5 meter dengan denah persegi. Sebagian besar dari candi itu masih terkubur di bawah tanah.

Situs Batu Kalde dinilai sebagai tempat peribadatan umat Hindu itu dibuktikan dengan ditemukannya batu Yoni. Batu Yoni sendiri adalah lambang perempuan yang semestinya berpasangan dengan Lingga. Diduga Lingga masih terkubur di dalam tanah.

Baca Juga: Cara Rakyat Bogor Menjalin Persatuan dan Kesatuan

Selain itu juga ditemukan Lapik Padma yang umumnya digunakan untuk para resi saat peribadatan, dan Nandi atau arca sapi sebagai hewan yang disucikan. Arca sapi juga diperkirakan sebagai penghormatan untuk Aria Sapi Gumarang, salah satu menteri Kerajaan Pananjung. Perkiraan penghormatan itu diungkap oleh Kuwsandi dan Dwi Novi Carolin dari Pendidikan Sejarah Universitas Galuh Ciamis lewat Keberadaan Ronggeng Gunung di Desa Cikalong Kecamatan Sidamulih Kabupaten Pangandaran (Jurnal Artefak Vol.2 No.1 Maret 2014).

Lewat temuan-temuan di Situs Batu Kalde, BPCB Banten memperkirakan tempat ini mungkin sempat dikunjungi Bujangga Manik yang berkeliling Jawa-Bali. Sebab melalui naskah perjalanannya ia berkunjung ke Pananjung di pesisir selatan Tatar Sunda.

Asal mula Kerajaan Pananjung

Sejarawan Djaja Sukardja dalam Pangandaran dan Ronggeng Gunung menulis, asal mula kerajaan Pananjung bermula dari permintaan Raden Anggelarang kepada ayahnya, Prabu Haur Kuning (1535-1580).

Sang ayah bukannya enggan untuk memberikan izin, ia berfirasat bila kerajaan itu tidak akan bertahan lama. Terutama, kawasan yang rencananya dibangun itu berupa hutan belantara. Tetapi kemudian ia mengizinkan Raden Anggelarang untuk mendirikannya di pantai selatan Jawa Barat itu.

Maka Raden Anggelarang pun memimpin negeri bersama istrinya, Dewi Siti Samboja. Pertemuan mereka hingga dimadu kasih asmara berawal dari sebuah gua yang kini dikeramatkan di Cagar Alam Pangandaran, Gua Cirengganis. Gua itu menurut Didin Resmijaya, budayawan Sunda yang berjaga di situs itu, merupakan tempat bertapa Raden Anggelarang dan tempat mandi Dewi Siti Samboja.

"[Gua] Ini kemudian jadi situs keramat dan dipercaya membuat lancar jodoh untuk siapapun yang berendam, cuci muka, dan meminum airnya," terangnya pada National Geographic Indonesia, Sabtu (13/02).

Di bawah kepemimpinan Raden Anggelarang, kerajaan itu, menurut Djaja, mengalami kemajuan berkat sektor perikanan dan pertanian. Kemajuan itu berkat pemerintah menempatkan Aria Sapi Gumarang sebagai menteri yang menguasai kedua bidang tersebut.

Baca Juga: Khawatir Tsunami Cili, Nelayan Ciamis Tidak Melaut

Kemajuan ini kemudian mengundang para Bajo—perompak dari Nusakambangan—untuk menguasainya. Meski Patih Kidang Pananjung berusaha mati-matian menghalau mereka, akhirnya ia berhasil dikalahkan oleh para Bajo. Akibatnya mereka menginvasi dan memorak-porandakan Kerajaan Pananjung.

Invasi juga membuat Raden Anggelarang harus menyelamatkan diri ke kawasan Babakan, Pangandaran. Dalam pelariannya, ia segera merancang rencana bersama Mama Lengser [penasihat raja] untuk menyerang kembali pusat kerajaan demi menyelamatkan Dewi Siti Samboja.

Nahas, Raden Anggelarang justru terbunuh, sementara Dewi Siti Samboja berhasil menyelamatkan diri ke daerah utara Pangandaran. Sedangkan menurut Didin, Dewi Samboja menghilang dengan menyelam di kolam Gua Cirengganis saat dikejar para Bajo.