Nationalgeographic.co.id—Jika dunia berhasil memenuhi target dalam perjanjian iklim di Paris—menahan pemanasan global hingga "jauh di bawah" 2°C pada 2100—jutaan nyawa manusia dapat diselamatkan. Hal sebaliknya berlaku pula, jika negara-negara di dunia gagal menepati Paris Agreement tersebut, jutaan nyawa manusia akan mati.
Para peneliti menyebut contoh pada sembilan negara yang telah mereka teliti. Sebanyak 6,1 juta nyawa manusia di Brasil, Tiongkok, Jerman, India, Indonesia, Nigeria, Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat bisa terselamatkan bila negara-negara tersebut mulai menerapkan kebijakan yang serius dalam memenuhi target Paris Agreement sehingga bisa mengurangi emisi gas rumah kaca pemicu perubahan iklim yang bisa menyebabkan bencana di wilayah mereka.
Berkat udara yang lebih bersih yang dihasilkan dari pengurangan drastis penggunaan bahan bakar fosil, 1,6 juta orang lainnya dapat bernapas lega selama satu tahun lagi. Adapun berkat peralihan dari mobil pribadi ke angkutan umum atau perjalanan kaki atau sepeda, 2,1 juta dari kita dapat memperoleh manfaat tambahan untuk tahun berikutnya, setiap tahun.
Tim peneliti dari The Lancet Countdown on Health and Climate Change mengatakan dalam laporan hasil studi mereka yang telah terbit di jurnal Lancet Planetary Health pada Februari 2021 ini bahwa mereka memilih sembilan negara tersebut untuk dipelajari karena negara-negara itu memiliki sekitar setengah populasi global dan menyumbang 70% emisi gas rumah kaca dunia. The Lancet Countdown on Health and Climate Change ini adalah tim kolaborasi multidisiplin internasional, yang didedikasikan untuk memantau profil kesehatan yang berkembang dari perubahan iklim.
Baca Juga: Studi: 1 dari 5 Kematian di Dunia Disebabkan Polusi Bahan Bakar Fosil
Dalam studi ini Countdown telah melihat berbagai skenario tindakan dari sembilan negara tersebut. Para peneliti itu juga telah memperhitungkan apa yang, sejauh ini, sembilan negara itu telah berjanji untuk lakukan untuk mengatasi perubahan iklim --bahasa birokrasi internasional menyebut janji-janji tersebut sebagai kontribusi yang ditentukan secara nasional (nationally determined contributions), atau NDC. Tim peneliti tersebut menemukan sembilan negara tersebut masih jauh dari target yang efektif: saat ini, para dunia sedang menuju kenaikan suhu global pada tahun 2100 sebesar 3° C atau lebih.
Dengan suhu rata-rata global yang lebih tinggi ini, akan ada gelombang panas yang lebih merusak dan mungkin mematikan, badai yang lebih intens dan lebih sering, kekeringan yang berkepanjangan, hujan dan banjir yang deras, dan kenaikan permukaan laut yang akan meningkatkan erosi dan banjir pesisir.
Baca Juga: 2050: Kerugian akibat Banjir Jakarta Diprediksi Naik Lima Kali Lipat
"Pesannya sangat jelas," kata Ian Hamilton, direktur eksekutif Lancet Countdown, sebagaimana dilansir Climate News Network. “Memenuhi target Paris tidak hanya mencegah jutaan orang meninggal secara prematur (mati lebih cepat) setiap tahunnya; kualitas hidup jutaan orang lainnya akan ditingkatkan melalui dampak kesehatan yang lebih baik. Kita sekarang memiliki kesempatan untuk menempatkan kesehatan di garis depan kebijakan perubahan iklim untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa.”
Hampir bersamaan ketika laporan studi dari Countdown dipublikasikan, sebuah tim lain dari Amerika Serikat juga mempublikasikan studi hasil tinjauan tentang apa yang harus dilakukan negara-negara tersebut untuk benar-benar memenuhi target-target yang dipilih pada konferensi global di Paris pada tahun 2015 untuk menahan pemanasan global hingga tidak lebih dari 2° C. Para ilmuwan itu mengatakan dalam laporan studi mereka yang terbit di jurnal Communications Earth and Environment, untuk memenuhi perjanjian iklim tersebut, dunia harus mengurangi emisi sebesar 1,8% setahun. Artinya, komunitas global harus berusaha 80% lebih keras.
Baca Juga: Studi Jelaskan Bagaimana Perubahan Iklim Memicu Pagebluk Covid-19
Beberapa negara telah mendekati target yang lebih ambisius. Rencana yang dideklarasikan Cina, misalnya, sejauh ini hanya membutuhkan peningkatan 7%. Sementara Inggris harus meningkatkan permainannya sebesar 17%. Adapun Amerika Serikat, yang sempat meninggalkan Paris Agreement di bawah mantan Presiden Trump, memiliki 38% lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.