Tradisi Kesenian Ronggeng Pangandaran yang Berjuang Menantang Zaman

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 23 Februari 2021 | 17:00 WIB
Para bintang baru penerus ronggeng Doger Kontrak asal Jawa Barat. (Sekar Rarasati)

 

Nationalgeographic.co.id—Secara kebahasaan, Ronggeng berasal dari kata renggana yang berarti perempuan pujaan dalam bahasa Sansekerta. Tak diketahui pasti bagaimana asal mula kesenian Ronggeng di Pangandaran hingga dapat bertahan seperti saat ini.

Namun menurut Gilang Campaka lewat skripsinya berjudul Lagu Kudup Turi dalam Kesenian Ronggeng Gunung di Ciamis Selatan, diperkirakan kesenian ini sudah ada sejak abad VII pada masa Kerajaan Galuh. Tariannya berperan sebagai penghibur tamu kerajaan yang berkunjung.

Dikisahkan pula dalam legenda Dewi Siti Samboja dari Kerajaan Pananjung yang menyamar sebagai penari ronggeng. Karena tewasnya sang suami, Raden Anggelarang, dalam penyamarannya di pegunungan Pangandaran ia mengungkapkan kesedihannya lewat lagu Manangis.

Senandung itu kemudian menjadi bagian dalam pertunjukkan ronggeng dan dianggap sebagai salah satu asal-usulnya.

Baca Juga: Menguak Sisa Kerajaan Pananjung, Kuasa yang Hilang di Pangandaran

Tetapi versi lainnya, menurut Ria Andayani lewat bukunya, Ronggeng Gunung: Menggali Seni Tradisi bagi Pengembangan Pariwisata dan Seni Modern di Kabupaten Ciamis, bahwa tarian ini diciptakan oleh Raden Sawung Galing. Raden Sawung Galing sendiri merupakan bala bantuan dari Galuh untuk menyelamatkan Pananjung yang kemudian menjadi raja.

Ketika berkuasa, ia membuat tarian sebagai sarana hiburan resmi bernama Ronggeng Gunung. Seleksi penarinya pun cukup ketat dengan syarat cantik, mampu menari dan menyanyi, serta terpandang.

Kesenian ini juga tercatat di masa penjajahan oleh bangsa Eropa, termasuk Gubernur Jenderal Stamford Thomas Raffles dalam bukunya The History of Java. Ia menulis, Ronggeng merupakan pertunjukkan keliling yang dilakukan oleh perempuan yang berasal dari gunung. Pertunjukannya biasa dilakukan di ruang publik, bahkan di tempat tinggal para bangsawan dan penguasa kolonial.

Pada pementasan Ronggeng Gunung, perempuan memiliki banyak peran, seperti sebagai penari sekaligus penyanyi. Seorang Ronggeng juga berperan sebagai pemimpin sejumlah ritual acara yang melibatkan pementasan ini.

Euis Thresnawaty dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat dalam Raspi, Sang Maestro Ronggeng Gunung (jurnal Panjalu Vol.8 No 2 2016) menulis bahwa untuk menjadi seorang ronggeng tidak memiliki batasan umur.

Tidak mudah bagi setiap perempuan untuk menjadi ronggeng karena memiliki seleksi ketat. Tetapi syarat berparas cantik tak lagi menjadi syarat penting untuk menjadi ronggeng seperti di masa lalu.

Ronggeng identik dengan kepiawaian penari dalam menggoda lawan jenisnya. (Sekar Rarasati)

Syarat itulah yang membuat profesi ronggeng hingga kini jadi langka. Kesulitan utama, menurut Euis, ialah kemampuan berolah vokal yang unik.

"Perempuan muda di Ciulu misalnya, lebih memilih menjadi penyanyi dangdut atau penaynyi organ tunggal daripada menjadi ronggeng," tulisnya. "Mereka tidak memiliki kesabaran lebih untuk mendapatkan kemampuan menyanyi seperti itu."

Ronggeng Gunung yang sebelumnya menjadi ritual untuk kesuburan pertanian, kemudian berkembang seiring waktu. Nina Herlina Lubis dan Undang Ahmad Darsa dari Universitas Padjadjaran menulis, bahwa perkembangan kemudian diadakan 

Jika sebelumnya Ronggeng Gunung digunakan dalam ritual khususnya kesuburan pertanian, dalam perkembangannya menjadi seni pertunjukkan sebagai hiburan pasca bertani. Ketika panen usai, Ronggeng Gunung diadakan di malam hari sebagai rasa syukur.

Baca Juga: Menerka Gagasan Giuseppe Racina, Sang Arsitek Mausoleum Khouw Oen Giok

 

Nina dan Undang lewat Perkembangan Ronggeng Sebagai Seni Tradisi di Kabupaten Pangandaran, mengungkapkan Ronggeng Gunung berkembang menjadi Ronggeng Amen (disebut juga dengan Ronggeng Kidul). Kehadiran Ronggeng Amen lebih populer di kalangan masyarakat Pangandaran kini.

Kepopuleran ini disebabkan karena penonton dapat ikut menari bersama ronggeng dan memberi saweran. Pementasannya pun dapat dicermati lebih meriah karena diiringi dengan gamelan kliningan dan berbagai tembang yang lebih modern.

Ronggeng Amen biasanya terdiri dari lima hingga tujuh ronggeng, dan belasan pemain musil. Penari Ronggeng Amen juga tidak berperan ganda sebagai pesinden.

Dalam hal gerakan, Ronggeng Amen juga tampak lebih bebas berekspresi dan inklusif kepada penonton. Para penonton berikutnya bisa ikut serta dalam tarian jika dikalungi sampur (selendang) dari ronggeng, dan bebas bergerak menari tanpa patokan gerakan.

Mengingat Ronggeng Gunung dan Ronggeng Amen merupakan kebudayaan khas Pangandaran. Pemerintah setempat berupaya untuk melakukan pembinaan terhadap berbagai kelompok seni Ronggeng agar lebih diterima di masa kini.

Di masa pagebluk, Kang Heri dari Balai Pelestarian Cagar Budaya [BPCB] berujar bahwa kegiatan Ronggeng terhenti sementara. Pementasan Ronggeng yang biasanya dipentaskan dalam bentuk wisata kebudayaan di Pondok Seni Kebudayaan dan Pariwisata Pangandaran, kini hanya mengisi beberapa acara seperti pernikahan dan khitanan.

Baca Juga: Di Balik Cerita Cinta dalam Tradisi Panji yang Selalu Berakhir Bahagia

"Kalau tidak pandemi, kegiatannya dilaksanakan di gedung kesenian (merujuk pada Pondok Seni), di jalan Pantai Barat. Biasa diadakan setiap malam minggu dan ramai pengunjung--baik dari dalam maupun luar [Pangandaran]." ujar Heri pada National Geographic Indonesia (16/02).

"Tapi bukan berarti mereka mati saat pandemi. Komunitas mereka banyak dan enggak selalu di gedung kesenian [untuk latihan], seperti di Sukaresik dan Babakan."