Perubahan Iklim Penyebab Punahnya Mamut, Kungkang, dan Megafauna Lain

By Utomo Priyambodo, Kamis, 18 Februari 2021 | 09:00 WIB
Mamut raksasa dan spesies lainnya mungkin saja dibangkitkan dengan editing gen. (Lutfi Fauziah)

Nationalgeographic.co.id—Selama bertahun-tahun, para ilmuwan bingung soal apa sebenarnya yang menyebabkan megafauna atau hewan-hewan berukuran besar di Amerika Utara punah. Mereka berdebat apakah penyebabnya adalah perburuan yang berlebihan, perubahan iklim, atau keduanya.

Dalam sebuah studi terbaru yang laporan hasilnya telah terbit di jurnal Nature Communications pada 16 februari 2021, sekelompok peneliti mencoba menjawab pertanyaan itu. Dengan menggunakan analisis statistik, mereka menunjukkan bahwa perubahan iklim adalah penyebab utama lenyapnya spesies-spesies terbesar di Amerika Utara, termasuk mamut dan kungkang raksasa.

Sebelumnya, pada tahun 1950-an, banyak peneliti berhipotesis bahwa perburuan hewan besar adalah penyebab utama punahnya mamut, kungkang, dan megafauna lainnya. Para pendukung hipotesis "overkill" itu berpendapat bahwa seiring dengan bertambahnya populasi manusia di seluruh benua, mereka dengan mudah membantai spesies megafauna tersebut.

Baca Juga: Studi: 1 dari 5 Kematian di Dunia Disebabkan Polusi Bahan Bakar Fosil

Para pengkritik hipotesis “overkill” itu mengklaim tidak ada bukti arkeologis yang cukup untuk membenarkan klaim tersebut. Perburuan megafauna, menurut mereka, tidak terjadi meluas di seluruh dunia.

Sebaliknya, mereka mengklaim bahwa perubahan iklim yang adalah penyebabnya. Secara spesifik mereka menyebut periode pemanasan mendadak sekitar 14.700 tahun lalu yang diikuti oleh musim dingin yang dramatis sekitar 12.900 tahun lalu.

Kedua kubu berusaha untuk memperkuat klaim mereka dengan membandingkan garis waktu fosil dan catatan arkeologi lainnya dengan catatan waktu perubahan iklim. "Pendekatan umum adalah mencoba menentukan waktu kepunahan megafauna dan kemudian melihat apakah kematian mereka selaras dengan kedatangan manusia di Amerika atau dengan beberapa peristiwa iklim," kata Mathew Stewart dari Max Planck Extreme Events Research Group di Jena, Jerman, yang merupakan salah satu peneliti dalam studi terbaru ini.