Pada Juni 1819. lempengan batu ditemukan oleh para pekerja yang sedang membersihkan hutan di sekitar muara Sungai Singapura. Penemuan batu ini pun memberikan kepercayaan akan cerita Badang.
Selain membuat penasaran penduduk setempatm lempengan itu juga menarik perhatian sarjana Eropa. Seperti orientalis Belanda bernama Johan Kendrik Caspar Kern. Ia adalah orang yang melakukan studi pertama tentang batu itu.
Kemudian sarjana lain segera mengikutinya dalam usaha untuk menguraikan naskah. Bahkan Stamford Raffles juga mencoba menguraikan prasasti batu tersebut.
Baca Juga: Marie Thomas dan Anna Warouw, Si 'Kembar' Pelopor Dokter Perempuan di Indonesia
Pada tahun 1843, pemerintahan Inggris di Straits Settlement of Singapore memutuskan untuk membersihkan dan memperlebar lorong di muara Sungai Singapura. Hal ini dilakukan juga untuk persiapan dasar pembangunan benteng Fullerton.
Karena itu, atas perintah Settlement Engginer, Kapten D. H. Stevenson, lempengan raksasa itu pun hancur berkeping-keping. Letnan Kolonel James Low yang menentang penghancuran lempengan itu berhasil menyelamatkan tiga bagian lempengan yang berisi prasasti, tak lama setelah batu itu diledakkan.
Dua lempengan dikirim ke Museum Royal Asiatic Society di Calcutta untuk dianalisis setelah tiba lima tahun kemudian. Sementara satu fragmen yang tersisa tetap ada di Singapura dan dipajang secara permanen di Museum Nasional Singapura.