Riset Ungkap Dampak PSBB dan PSDD terhadap Kasus COVID-19 di Indonesia

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 20 Februari 2021 | 09:00 WIB
ilustrasi penyekatan di ruas jalan tol pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). (TribunSolo.com)

Nationalgeographic.co.id—Tim peneliti dari Divisi Riset Statistik Institut Teknologi Bandung yang dipimpin Khreshna Imaduddin Ahmad Syuhada menyusun studi terkait dampak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pembatasan Sosial yang Diperluas dan Diperketat (PSDD) terhadap perkembangan kasus COVID-19 di sejumlah kota dan provinsi di Indonesia. Dalam riset yang hasilnya telah dipublikasikan secara online di jurnal Elsevier pada 28 Januari 2021 ini, mereka menggunakan data resmi COVID-19 dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang pernah menerapkan PSBB atau PSDD.

Pada dasarnya, PSBB dan PSDD ini adalah kebijakan yang mirip, hanya saja namanya berbeda. Inti kebijakan ini adalah membatasi pergerakan warga di sebuah daerah demi mencegah dan menurunkan tingkat penularan COVID-19 di daerah tersebut. Mirip lockdown, tapi lebih longgar.

Dalam riset ini tim peneliti menggunakan dan mengolah data jumlah kasus terkonfirmasi (confirmed cases), jumlah kasus aktif (active cases), dan rasio kematian kasus (case fatality rate) di Medan, Bandung, Samarinda, Jayapura, Sumatra Utara, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua. Data ini peneliti gunakan untuk membandingkan perkembangan kasus COVID-19 sebelum, selama, dan setelah PSBB atau PSDD di sebagian daerah tersebut.

Data yang diambil dari berbagai kota dan provinsi tersebut berasal dari data Maret atau April 2020 hingga 22 Agustus 2020. Adapun PSBB dan PSDD sebelum 22 Agustus 2020 sempat diterapkan secara terpisah di sebagian kota dan provinsi yang disebutkan itu, "yakni sejak 6 Mei hingga 25 Juni (PSBB di Bandung/Jawa Barat), 24 April hingga 22 Mei (PSBB di Sulawesi Selatan), 24 April hingga 22 Agustus (PSDD di Jayapura), dan 24 April hingga 3 Agustus (PSDD di Papua)," tulis para peneliti dalam laporan riset mereka.

Dari data di atas, tim peneliti kemudian membuat suatu pemodelan yang digunakan untuk menilai tingkat risiko COVID-19 di sejumlah kota dan provinsi sebelum, selama, dan setelah mereka menerapkan PSBB atau PSDD. Pemodelan yang mereka buat adalah model berbasis Value-at-Risk (VaR). VaR sendiri adalah teknik statistik yang digunakan untuk menilai dan mengukur tingkat risiko atas suatu hal di sebuah wilayah atau objek tertentu.

Biasanya VaR digunakan untuk menilai atau mengukur tingkat kerugian keuangan suatu perusahaan. Namun dalam hal ini yang diukur adalah kasus COVID-19 yang tentunya juga merupakan suatu kerugian bagi tiap daerah yang sedang menghadapinya.

Berikut ini adalah peta-peta gambar perbandingan nilai Value-at-Risk di tiga provinsi sebelum, selama, dan setelah menerapkan PSBB atau PSDD.

Rt menunjukkan rasio kasus terkonfirmasi. RAt menunjukkan rasio kasus aktif. CFRt menunjukkan tingkat fatalitas kasus. Sedangkan RCFRt menunjukkan rasio tingkat fatalitas kasus.

Nilai risiko COVID-19 di sejumlah provinsi Indonesia sebelum PSBB atau PSDD. (Khreshna Imaduddin Ahmad Syuhada et al/Elsevier)

Nilai risiko COVID-19 di sejumlah provinsi di Indonesia selama PSBB atau PSDD. (Khreshna Imaduddin Ahmad Syuhada et al/Elsevier)

Nilai risiko COVID-19 di sejumlah provinsi di Indonesia setelah diterapkan PSBB atau PSDD. (Khreshna Imaduddin Ahmad Syuhada et al/Elsevier)

Data ini menunjukkan bahwa PSBB atau PSDD berhasil menurunkan nilai risiko COVID-19 di tiga provinsi di atas, yakni Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua. Nilai-nilai tingkat risiko COVID-19 untuk semua parameter setelah PSBB atau PSDD secara umum juga menurun jika dibandingkan sebelum PSBB atau PSDD.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya penerapan pembatasan sosial dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk menurunkan tingkat risiko COVID-19 di daerah-daerah di Indonesia. Ya, PSBB atau PSDD ini tentu lebih baik daripada tidak ada pembatasan sosial sama sekali.

Yang perlu jadi catatan, berdasarkan riset ini, nilai risiko jumlah kasus aktif di Jawa Barat setelah PSBB kembali lebih tinggi dibanding selama PSBB. Begitu pula nilai risiko dari rasio tingkat fatalitas kasus di Papua setelah PSDD juga kembali lebih tinggi dibanding selama PSDD.

Hal ini menunjukkan bahwa penerapan PSBB di Jawa Barat sebaiknya diperpanjang, jangan buru-buru dilonggarkan. Begitu pula dengan penerapan PSDD di Papua, sebaiknya terus dijalankan, jangan cepat-cepat dicabut dan ditinggalkan.