Seorang wanita berusia 23 tahun di Indonesia menjadi perhatian dokter (tidak disebutkan bagaimana) dengan kecemasan ekstrim yang dikaitkan dengan munculnya COVID-19 di negaranya. Namun, tidak ada laporan apakah dia mengalami kecemasan sebelum pandemi (Wulandari et al., 2020).
Kemudian pada kasus seorang wanita berusia 38 tahun di Peru tiba-tiba menjadi psikotik setelah kunjungan ke dokter gigi pada Maret 2020. Dia takut tertular karena dokter gigi tersebut tidak memakai masker dan baru-baru ini bepergian ke Prancis (Huarcaya-Victoria et al., 2020).
Adalah temuan lama bahwa stres dapat bermanifestasi sebagai gejala psikosomatis. Hidup penuh dengan stres; tidak terbukti bahwa stres COVID-19 adalah jenis stres yang unik. Mengapa editor merasa ini adalah kontribusi baru? untuk psikiatri, masih membingungkan, menurut Scheeringa.
Baca Juga: Label Bimbingan Orang Tua: Keprihatinan Ibu pada Gaya Musik Rok
Scheeringa juga mengkritik editor yang menerbitkan klaim yang tidak didukung dari individu yang memiliki keahlian kesehatan mental. Karena banyak profesional non-mental yang berteriak paling keras tentang keberadaan kita di tengah pandemi psikologis.
Seperti seorang ahli biostatistik sekolah kedokteran gigi menyarankan bahwa "gangguan psikologis lebih umum pada non-anggota tim medis daripada di profesional perawatan kesehatan garis depan." (Ghaffari & Mortezapour, 2020).
Lalu juga seorang peneliti kebijakan kesehatan meramalkan bahwa pandemi akan memiliki "dampak kesehatan mental yang mendalam yang meliputi garis ras, etnis, dan kelas di Amerika Serikat." (Purtle, 2020).
"Kami mungkin menganggap periode COVID-19 ini sebagai uji coba untuk apa yang terjadi ketika peer- review dilonggarkan. Hasilnya: tidak ada yang baik. Baik kebenaran maupun pengobatan tidak ditemukan dengan lebih akurat atau lebih cepat. Dalam hal sains, kecepatan membunuh. Itu membunuh integritas dan kepercayaan." tulis Scheeringa.