Apakah Editor Jurnal Bertanggung Jawab atas Rendahnya Kualitas Penelitian Mental Karena COVID-19?

By Fikri Muhammad, Selasa, 23 Februari 2021 | 17:00 WIB
Ilustrasi stres di kantor. (Thinkstock)

Nationalgeographic.co.id—Kebanyakan penelitian kesehatan mental terkait pandemi COVID-19 bermutu rendah. Seperti yang dikatakan oleh Asmundson & Taylor (2021) yang sering menyebut "sampah masuk, sampah keluar."

Para peneliti yang melakukan studi tentu bertanggung jawab atas hal ini, namun menurut seorang profesor dan wakil ketua penelitian psikiatri di University School of Medicine, Michael S. Scheeringa di Psychology Today, ada masalah yang jauh lebih besar.

Menurut Scheeringa, masalahnya adalah editor yang menerbitkan penelitian "sampah" yang dimaksid Asmundson & Taylor. Yakni saat peneliti mengirim penelitianya ke jurnal, penerbit melakukan sortir dengan sistem peer-review. Selama pandemi, peer-review banyak diubah di banyak jurnal yang mencoba menerbitkan penelitian lebih cepat. 

Baca Juga: Menerka Gagasan Giuseppe Racina, Sang Arsitek Mausoleum Khouw Oen Giok

Pada (Tandon, 2020) disebutkan bagaimana pemimpin redaksi Asian Journal of Psychiatry mengubah proses peninjauan pandemi. Setelah mendapat kiriman lebih dari 550 penelitian terdapat 52 yang diterbitkan dalam enam minggu. Penulis diberi waktu satu minggu untuk melakukan revisi dan peninjauan ulang setelah revisi diminimalkan.

Sheeringa berkata bahwa literatur dibanjiri dengan studi yang tidak berarti dan menyesatkan.

"Ratusan studi tentang kesehatan mental diterbitkan dalam waktu singkat dan sebagian besar berkualitas buruk sehingga tidak layak untuk diringkas (Proyek DEPRESSD)," katanya.

Laporan kasus memiliki kualitas yang membingungkan. Gangguan fiksi "koronofobia" didiagnosis setidaknya ada pada dua laporan kasus, tulis Sheeringa.

Seorang wanita berusia 23 tahun di Indonesia menjadi perhatian dokter (tidak disebutkan bagaimana) dengan kecemasan ekstrim yang dikaitkan dengan munculnya COVID-19 di negaranya. Namun, tidak ada laporan apakah dia mengalami kecemasan sebelum pandemi (Wulandari et al., 2020).

Kemudian pada kasus seorang wanita berusia 38 tahun di Peru tiba-tiba menjadi psikotik setelah kunjungan ke dokter gigi pada Maret 2020. Dia takut tertular karena dokter gigi tersebut tidak memakai masker dan baru-baru ini bepergian ke Prancis (Huarcaya-Victoria et al., 2020).

Adalah temuan lama bahwa stres dapat bermanifestasi sebagai gejala psikosomatis. Hidup penuh dengan stres; tidak terbukti bahwa stres COVID-19 adalah jenis stres yang unik. Mengapa editor merasa ini adalah kontribusi baru? untuk psikiatri, masih membingungkan, menurut Scheeringa.

Baca Juga: Label Bimbingan Orang Tua: Keprihatinan Ibu pada Gaya Musik Rok

Scheeringa juga mengkritik editor yang menerbitkan klaim yang tidak didukung dari individu yang memiliki keahlian kesehatan mental. Karena banyak profesional non-mental yang berteriak paling keras tentang keberadaan kita di tengah pandemi psikologis.

Seperti seorang ahli biostatistik sekolah kedokteran gigi menyarankan bahwa "gangguan psikologis lebih umum pada non-anggota tim medis daripada di profesional perawatan kesehatan garis depan." (Ghaffari & Mortezapour, 2020).

Lalu juga seorang peneliti kebijakan kesehatan meramalkan bahwa pandemi akan memiliki "dampak kesehatan mental yang mendalam yang meliputi garis ras, etnis, dan kelas di Amerika Serikat." (Purtle, 2020).

"Kami mungkin menganggap periode COVID-19 ini sebagai uji coba untuk apa yang terjadi ketika peer- review dilonggarkan. Hasilnya: tidak ada yang baik. Baik kebenaran maupun pengobatan tidak ditemukan dengan lebih akurat atau lebih cepat. Dalam hal sains, kecepatan membunuh. Itu membunuh integritas dan kepercayaan." tulis Scheeringa.