Riwayat Reog dalam Kancah Politik Majapahit hingga Indonesia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 26 Februari 2021 | 14:00 WIB
Reog Ponorogo memeriahkan acara ulang tahun National Geographic Indonesia yang ke-10 di Bentara Buda (Yunaidi Joepoet)

Kegunaan reog menjadi kesenian untuk aksi massa politik kembali berkembang setelah masa kemerdekaan. Sururli Mukarromah dan Shinta Devi dalam jurnal Verleden (Vol.1 Desember 2012) menulis, Pemilu 1955 sebagai pemantik awalnya.

"Masa tahun 1950 sampai 1959 sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer," tulis mereka dalam Mobilisasi Massa Partai Melalui Seni Pertunjukan Reog di Ponorogo tahun 1950-1980.

"Hampir semua partai berpacu untuk memperoleh massa sebanyak-banyaknya dengan cara manggandeng kesenian untuk menarik massa."

Karena kampanye kerakyatannya yang sejalan dengan filosofinya, Reog Ponorogo didominasi oleh PKI dalam Barisan Reog Ponorogo (BRP). Partai lainnya seperti NU, PNI, Masyumi, dan Partai Buruh, juga turut menggunakan cara serupa, meski tak sebesar PKI.

Namun semenjak kejadian G30S 1965 yang berbuah pelarangan PKI, juga berdampak pada kesenian Reog Ponorogo dengan bubarnya BRP. Selama tiga tahun kesenian ini bagai mati suri karena takut dianggap sebagai partisan partai komunis.

Baca Juga: Tradisi Kesenian Ronggeng Pangandaran yang Berjuang Menantang Zaman

Secara perlahan pada 1969, Reog Ponorogo mencoba tampil kembali di hadapan masyarakat pada PON VII. Penggagas bergeraknya kembali kesenian itu adalah Kasni Gunopati.

"Orang-orang tidak berani main reog lagi karena takut. Selain itu banyak yang sudahtua. Yang pertama berani mendirikan reog lagi saya," ujar Kasni Gunopati dikutip dari Majalah Tempo edisi 10 November 1979.

Organisasi-organisasi Reog Ponorogo yang bertahan pasca G30S kemudian bersatu dalam INTI (Insan Taqwa Illahi) untuk menghidupkan kembali kesenian. Anggotanya berupa 'pentolan reog' yang juga bertugas untuk pengamanan pemilu di masa berikutnya. 

Selain itu organisasi ini berperan agar menjaga kesenian Reog Ponorogo dari tunggangan partai politik yang memecah belah. Usaha menjaganya, mereka mengeluarkan peraturan tersendiri, yakni agar Reog Ponorogo hanya boleh dimiliki perseorangan atau desa.