Riwayat Reog dalam Kancah Politik Majapahit hingga Indonesia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 26 Februari 2021 | 14:00 WIB
Reog Ponorogo memeriahkan acara ulang tahun National Geographic Indonesia yang ke-10 di Bentara Buda (Yunaidi Joepoet)

Nationalgeographic.co.id—Dekade silam, seni tari reog sempat menjadi kontroversi akibat klaim pariwisata negeri tetangga. Klaim itu tak sepenuhnya salah sebab, menurut para ahli, kesenian itu bisa tiba dan menjamur di negeri jiran karena dibawa pendatang Indonesia yang menetap.

Reog sendiri merupakan kesenian yang berasal dan berkembang di Ponorogo, Jawa Timur. Kesenian ini, menurut Andi Farid Hidayanto dalam Jurnal Eksis (Vol.8 Maret 2012), identik dengan irama gamelan yang membangkitkan semangat dan aroma yang merangsang daya tarik.

Andi lewat Topeng Reog Ponorogo dalam Tinjauan Seni Tradisi menulis, pagelaran reog juga mengandung unsur kekuatan mistik dan mengandung nilai sindiran terhadap kejadian di masyarakat.

Baca Juga: Menyusuri Majapahit dengan Panduan Peta National Geographic Indonesia

Nilai sindiran diduga sebagai unsur asal-usul lahirnya tarian Reog Ponorogo itu sendiri, yakni sebagai bentuk sindiran Demang Ki Agung Kutu Suryongalam dari Wengker kepada Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V.

Bagi Ki Agung bersama masyarakat Wengker (kini Ponorogo), raja tidak memenuhi kewajibannya untuk melayani rakyat dan memimpin negeri. Sebab kala sang raja terlalu menuruti masukkan sang permaisuri, Ratu Dwarawati dari Champa.

Maka lewat kesenian, dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit harimau Jawa yang ditunggangi burung merak. Barongan itu melambangkan sang raja yang ditunggangi permaisuri.

Sindiran pada Majapahit juga dilambangkan dengan tokoh Jathilan—penari lelaki berias wanita yang menunggang kuda. Penggambaran ini ditujukan pada tentara kerajaan Majapahit yang telah kehilangan keberaniannya melawan pasukan musuh.

Seiring dengan perkembangannya, jathilan kini diperankan oleh perempuan untuk mempertegas kesan cantik, anggun, dan bergairah.

Kecenderungan sikap raja ini meruncing hingga melahirkan beberapa pemberontakan di Majapahit yang berbuah berakhirnya adikuasa. Sehingga, kesenian ini ketika Majapahit digantikan dengan Kesultanan Demak menjadi tari kesenian rakyat.

Selama masa kolonialisme Belanda, berdasarkan catatan harian tokoh Reog Ponorogo KH Mujab Tohir, kesenian ini dinggap sebagai pengaruh merugikan pemerintah. Akibatnya kesenian ini tidak memperoleh bimbingan dan fasilitas pemerintah.

Baca Juga: Kisah Surat Wiyoto, Melindungi Hidup Merak Hijau Demi Lestarikan Reog Ponorogo

Terpaksa, kesenian itu terpecah dan terorganisir dengan buruk. Akibatnya timbul persaingan antar kelompok reog hingga konflik politik yang menimbulkan korban. Terlebih, pemerintah juga tak memberi keamanan untuk kesenian reog.