To Manurung, menurut Siti Anin Fijriyani dari Universitas Hasanuddin, juga dikenal oleh masyarakat Mandar sebagai To Dipanurung yang menyatukan tujuh kerajaan pesisir.
Tetapi konsep To Manurunung juga tak selalu mengenai asal-usul kerajaan, tetapi juga pada masyarakat adat Kajang. Menurut mereka, sosok itu turun diutus oleh Tuhan di kawasan hutan Bulukumba dan memimpin masyarakat sebagai Amatoa.
Ammatoa selanjutnya, Pawennari Hijjang dari Universitas Hasanuddin dalam jurnal Antropologi Indonesia (Vol.29, No.3, 2005) dipilih berdasarkan keputusan adat.
Namun bila dibandingkan dengan kisah sosok To Manurung di seluruh Sulawesi Selatan, mitos yang dimiliki masyarakat Bantaeng adalah yang terlengkap.
La Sakka dalam Historiografi Islam di Kerajaan Bataeng memperkirakan kerajaan Bantaeng sudah ada sejak abad VI dengan kondisi terpisah menjadi tujuh kekaraengan. Tetapi masyarakat yang terpisah-pisah itu kerap kali bertikai dan menimbulkan konflik.
Hingga kemudian To Manurung datang dari langit pada mereka dan menjadi penengah bagi mereka. Sebuah batu menhir dan dolmen di situs Pattalasang dan Killing dipercayai sebagai lokasi turunnya.
Kedatangannya pun membuat beberapa kawasan di Bantaeng dapat dihuni manusia, mulai dari membuka lahan hingga menjadi persawahan. Bahkan dalam kisahnya, To Manurung mampu mengubah kawasan laut yang kemudian hari menjadi pusat Bantaeng.
To Manurung kemudian menjadi pemimpin bagi tujuh kelompok masyarakat. Para pimpinan untuk meminta pertolongan harus susah-susah bertemu di lereng gunung Lompo Battang.
Baca Juga: Lebih Dekat dan Lebih Rekat Bersama Warga Kampung Asmat di Papua
Hingga kemudian, To Manurung membentuk Ada' Sampulong Ruwa (dewan adat 12) yang terdiri dari orang-orang terpilih. Kemudian—seperti kisah asal-usul lainnya—ia menghilang ketika masyarakat Bantaeng sudah kondusif.
To Manurung mewasiatkan pimpinan itu kepada seseorang yang diberi gelar Karaeng, dan didampingi Galarang sebagai ketua Ada' Sampulong Ruwa.
Wasiat itu ia sampaikan lewat mimpi kepada pengikutnya, Pole, dan disampaikan kepada Galarang. Wasiatnya terdokumentasi dengan baik dalam lontara yang diarsipkan di University of Leiden:
"Dalam mimpi tersebut To-manurung telah berpesan kepadanya bahwa dia akan turun ke bumi lagi tidak dalam wujud manusia melainkan dalam wujud sebuah patung emas."
"Kata To-manurung, “Saya akan datang. Kemudian bawalah saya ke rumah saya di Bisampole lagi, dan sejak saat itu saya akan tetap tinggal bersama orang yang menduduki jabatan Karaeng Bantaeng [...]"
Kehadiran dan lenyapnya To Manurung secara misterius pada narasi asal-usul kerajaan, dan masyarakat adat berbuah tanda tanya. Siapakah To Manurung?
Meski tak bisa diketahui secara fisik keberadaannya, beberapa ahli meyakini To Manurung merupakan sebuah konsep yang dipersonifikasi.
Baca Juga: Cagar Alam Pananjung Pangandaran: Konservasi dan Situs Sejarah
Heddy Shri Ahimsa-Putra dari UGM misalnya, memandang To Manurung lewat kajian mitime dan ceriteme. Mitime merupakan kisah mistos yang memperlihatkan suatu relasi tertentu, dan ceriteme—berkonsep sama dengan mitime—yang menghubungkannya pada suatu gagasan.
Lewat tulisannya, Demokrasi To-Manurung Falsafah Politik dari Bantaeng, Sulawesi Selatan (jurnal Masyarakat Indonesia Vol. 40 Juni 2014), To Manurung sebagai konsep budaya hubungan timbal balik antara pemimpin dan masyarakatnya. Sosoknya jadi gambaran bagi jiwa para pemimpin di Sulawesi Selatan—terutama di Bantaeng.
Pemimpin selain menjadi orang tertinggi, juga mengawal masyarakat dan bersikap demokratis. Terbukti dalam kisahnya menentukan secara adil pembagian hasil bumi—meski ia tak mengambil sepeserpun karena selanjutnya menghilang—dan membentuk Ada' Sampulong Ruwa.
Budaya demokratis masyarakat Sulawesi Selatan yang terjaga hingga kini adalah, pemahaman akan kemasyarakatan sebelum falsafah itu datang dibawa orang Eropa pada mereka.
Melalui kisah penjelemaan To Manurung sebagai patung emas, menurutnya menggambarkan peranan benda pusaka bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Benda-benda pusaka dianggap sebagai wakil nenek moyang dari mereka yang memiliki pusaka atau yang jiwanya melebur seperti To Manurung.
"Dalam pandangan masyarakat Sulawesi Selatan tradisional, “penguasa” yang sebenarnya adalah pusaka-pusaka ini," tulis P.J Kooreman dalam De Feitelijke Toestan in Gouvernementsgebied van Celebes en Onderhoorigheden (1883).
Baca Juga: Seniman-Seniman Lukis Pertama di Dunia Berasal dari Indonesia?
"Sedangkan karaeng atau orang yang dianggap sebagai kepala di situ hanyalah orang yang meminjam kekuasaan dari pusaka itu."
Heddy menambahkan, kombinasi nilai-nilai budaya demokratis dengan nilai budaya lainnya yang dimiliki masyarakat Sulawesi Selatan, membentuk sebuah sistem budaya dan falsafah politik. Ia menyebutnya sebagai falsafah Demokrasi To Manurung.